Jakarta – Pendidikan Pancasila di Indonesia seringkali dipandang
sekadar sebagai pengajaran tentang sila-sila yang terkandung dalam
Pancasila. Tapi pendidikan Pancasila harus lebih dari sekadar hafalan
tapi harus dipahami da dihayati.
Hal itu dikatakan oleh Kepala BSKAP Kemendikdasmen Anindito Aditomo
dalam diskusi bersama BPIP RI di Gedung LPP RRI, Jakarta, Selasa
(19/11/2024).Menurutnya, Pancasila harus dipahami dan dihayati sebagai
landasan moral dan etika dalam menghadapi tantangan kehidupan
sehari-hari.
“Harapan kita Pancasila dapat menjadi landasan moral, etika bagi
generasi penerus kita, sehingga mereka bisa melihat relevansi
Pancasila,” katanya
Aditomo menjelaskan, pendidikan memiliki dua fungsi utama yang
kadang-kadang saling bertentangan. Yaitu, menjaga kontinuitas dan
memberi ruang untuk kebaruan.
“Yang pertama, menjaga kontinuitas dengan mewariskan nilai-nilai dan
gagasan ideologi. Tetapi, di sisi lain, pendidikan juga perlu memberi
ruang untuk kebaruan, agar anak-anak muda bisa melihat relevansi
Pancasila,” ucapnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam pendidikan Pancasila adalah
menjadikannya bagian dari pemahaman dan penghayatan, bukan sekadar
hafalan. Pendidikan Pancasila harus memungkinkan siswa belajar tidak
hanya tentang keyakinan, tetapi juga untuk mempercayai nilai-nilainya.
Pentingnya pembaruan dalam pendidikan Pancasila terlihat dari upaya
revisi buku teks oleh BSKAP dan BPIP. Aditomo menyatakan perubahan
seperti pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 harus dimasukkan
dalam materi ajar untuk pemahaman kontekstual.
Ia mengingatkan perubahan harus hati-hati agar tidak mengganggu
penggunaan buku teks yang telah dibeli sekolah. “Materi ajar harus
menyajikan fakta sejarah, tapi juga menceritakan proses historisnya
agar siswa lebih memahami konteks dari setiap peristiwa,” tandasnya.