Jakarta- Insiden penyerangan dan pembakaran terhadap Markas Polres Dharmasraya di Sumatera Barat (Sumbar) merupakan modus baru dalam dunia terorisme di Indonesia. Kedua pelaku yang diduga sebagai teroris itu disinyalir sudah merancang matang dengan mengambil momen sepi dini hari, lalu membakar kantor polisi atau polres.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam siaran persnya yang diterima ‘Damailahindonesiaku.com’ mengatakan, selama ini aksi penyerangan teroris terhadap institusi polri lebih kepada anggota kepolisian. Ada yang ditembak atau dibacok atau terkena ledakan bom teroris.
“Kalaupun ada fasilitas polri yang diserang lebih kepada aksi penembakan dari jarak jauh. Namun, dalam kasus Polres Dharmasraya, teroris nekat melakukan aksi pembakaran. Artinya, para teroris Indonesia semakin berani melakukan perang terbuka dan perang jarak dekat dgn anggota kepolisian,” kata Neta S Pane, Senin (13/11/2017).
Menurutnya, bagaimana pun sikap nekat para teroris ini patut dicermati dan diwaspadai segenap jajaran polri agar anggotanya maupun fasilitasnya tidak terus-menerus menjadi bulan-bulanan teroris. Perang terbuka dan perang jarak dekat yang dilakukan teroris kepada jajaran kepolisian belakangan ini kerap terjadi. Setelah serangan bom di Kampung Melayu yang menewaskan sejumlah polisi, para teroris melakukan serangan ke Polda Sumatera Utara yang menyebabkan satu polisi tewas.
Kasus di Polres Dharmasraya hampir sama dengan kasus penyerangan di Polda Sumut. Teroris melakukan serangan menjelang pagi. Di Polda Sumut, teroris menikam polisi sampai mati, tetapi di Dharmasraya teroris membakar kantor polisi. Dari kasus ini, ada dua yang harus menjadi perhatian Polri agar bisa mempersempit ruang gerak teroris.
“Dalam kasus Dharmasraya dan Polda Sumut menunjukkan, jajaran kepolisian tidak boleh lengah, terutama saat tengah malam dan dinihari. Dua serangan di Sumut dan Dharmasraya menunjukkan bahwa serangan terjadi saat jam rawan di mana orang masih terlelap,” jelasnya.
Kasus Sumut dan Dharmasraya menunjukkan, tanpa bom teroris tetap bisa beraksi. Dengan senjata apa adanya para teroris tetap bisa melakukan perlawanan dan menyerang polisi. Selain itu kasus Dharmasraya menunjukkan bahwa dalam melakukan serangan para teroris tidak hanya terfokus di kota besar, kini mereka juga mengincar wilayah kecil. Fenomena ini perlu diantisipasi polri agar teror tidak kian menyebar menambah ketakutan berkepanjangan masyarakat.
Sebelumnya diberitakan, bahwa dua terduga teroris yang membakar markas Polres Dharmasraya, Minggu (12/11/2017), ditembak mati petugas di lokasi. Diperkirakan, kelompok teroris sudah merancang matang aksi tersebut dengan memanfaatkan penyerangan pada waktu sepi, pukul 02.45 WIB.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan, kedua terduga teroris itu tidak membawa identitas. “Kebakaran di ruangan belakang antara ruang Siwas dengan ruang Sitipol Polres Dharmasraya. Petugas pemadam kebakaran sempat melihat di sela kebakaran, lingkungan markas polres ada dua orang berpakaian hitam sambil memegang busur panah. Kedua pria misterius itu juga bergerak cepat,” katanya.
Namun, petugas bergerak cepat dengan mengepung dan menembak keduanya. Kedua pelaku sempat melakukan perlawanan dengan melepaskan beberapa anak panah ke arah polisi. Akhirnya, petugas merespons dengan menembakkan peluru ke udara. Karena kedua terduga teroris itu gigih melawan, akhirnya petugas menembak mati keduanya. Barang bukti yang diamankan di lokasi kejadian antara lain sejumlah busur panah, dua buah pisau sangkur, dan sebilah pisau kecil.