PBB: Anak Militan ISIS Harus Direpatriasi

“Negara punya kewajiban untuk melindungi anak-anak, termasuk dari keadaan tak punya kewarganegaraan. Pelanggaran terhadap prinsip mendasar ini akan menjadi penghinaan besar terhadap kewajiban,” ujar seorang anggota Komisi PBB untuk Urusan Suriah, Hanny Megally.

Megally melontarkan pernyataan tersebut setelah komisi tempat ia bernaung merilis laporan mengenai keadaan anak-anak para militan di Suriah. Dalam laporan tersebut, komisi PBB menyatakan bahwa anak-anak itu dalam keadaan bahaya karena tak punya dokumen-dokumen resmi.

“Ini dapat mempersulit hak mereka untuk mendapatkan kewarganegaraan, proses reunifikasi dengan keluarga, dan membuat mereka berisiko tinggi menjadi korban eksploitasi dan kekerasan,” demikian bunyi laporan yang dikutip AFP.

Dengan ketidakjelasan status ini, ribuan anak militan tersebut kini terpaksa tinggal di kamp-kamp penampungan. Menurut data PBB, 28 ribu anak ditampung di kamp Suriah, 20 ribu di antaranya merupakan kiriman dari Irak.

Ribuan anak lainnya diyakini ditahan di penjara bersama orang dewasa. Kepala komisi PBB tersebut, Paulo Pinheiro, mengatakan bahwa penahanan anak dengan orang dewasa merupakan pelanggaran berat.

“Penundaan menarik anak-anak ini dari penjara sangat memalukan. Ini skandal,” ucap Pinheiro sebagaimana dikutip AFP pada Kamis (16/1).

Sejak kejatuhan ISIS pada tahun lalu, para militan asal 50 negara memang ditahan di penjara-penjara Suriah dan Irak. Sementara itu, kebanyakan sanak saudara mereka ditampung di kamp Al-Hol di timur laut Suriah yang kini sudah disesaki 68 ribu orang. Begitu padat keadaan di kamp, 500 orang dilaporkan tewas pada 2019.

Komisi PBB itu pun mendesak agar pemerintah asal para militan untuk mengakui data dari pihak non-negara, seperti ISIS, agar anak-anak tersebut bisa mendapatkan dokumen resmi. Beberapa negara memang sudah menerima kembali anak-anak militan tersebut, dengan atau tanpa orang tuanya, atas nama kemanusiaan.

Namun, PBB mengecam kebijakan pencabutan kewarganegaraan para militan yang diterapkan sejumlah negara, termasuk Inggris, Denmark, dan Prancis.