Banyumas – Momen peringatan Jumat Agung dan Paskah yang dirayakan umat
Kristiani di seluruh dunia menjadi waktu yang tepat untuk
merefleksikan nilai-nilai toleransi antarumat beragama, khususnya
antara Islam dan Kristen. Dalam diskursus lintas iman, sosok Isa
Al-Masih menjadi titik temu penting sekaligus ruang bagi dialog yang
membangun.
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E, akademisi dan cendekiawan Muslim dari
UIN Saizu Purwokerto, menyampaikan pandangannya bahwa meski terdapat
perbedaan naratif dan teologis, umat Islam tetap menaruh hormat kepada
Isa sebagai nabi agung yang diutus Allah.
“Dalam Islam, Isa bukan hanya tokoh sejarah, melainkan nabi yang
dimuliakan dan diimani,” ungkap Dr. Shiddiqy dikutip IDN Times, Selasa
(22/2025).
Dalam Al-Qur’an, tepatnya Surat An-Nisa ayat 157, disebutkan bahwa
Nabi Isa tidaklah disalib ataupun dibunuh, melainkan yang disalib
adalah sosok yang diserupakan dengannya. Pandangan ini menjadi pembeda
utama antara ajaran Islam dan Kristen mengenai peristiwa penyaliban.
Namun, Dr. Shiddiqy menekankan bahwa perbedaan itu justru membuka
ruang saling pengertian, bukan pertentangan
Di sisi lain, sebagian ulama memiliki penafsiran beragam terhadap
ayat-ayat yang menyebutkan “wafat” dan “diangkat”-nya Nabi Isa.
Tokoh-tokoh seperti Buya Hamka dan Mahmud Syaltut menafsirkan bahwa
Isa telah wafat, sedangkan ulama seperti Ibnu Katsir menegaskan bahwa
beliau masih hidup dan akan turun kembali menjelang kiamat. “Perbedaan
ini menunjukkan bahwa bahkan dalam Islam sendiri ada ragam pendapat.
Ini bukan pelemahan, justru kekayaan dalam berfikir,” tambahnya.
Lebih jauh, momen Paskah dinilai dapat menjadi refleksi sosial untuk
memperkuat kehidupan beragama yang damai dan penuh penghormatan.
Menurut Dr. Shiddiqy, toleransi tidak berarti mengaburkan akidah,
melainkan menghargai keyakinan orang lain selama tidak mencederai
prinsip dasar agama masing-masing.
Mengutip sikap para ulama besar seperti Syaikh Yusuf al-Qaradawi dan
pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), disebutkan bahwa memberikan
ucapan selamat dalam perayaan umat lain diperbolehkan, selama tidak
mengandung pengakuan teologis.
“Kita bisa menghormati Paskah sebagai bentuk penghormatan atas tradisi
saudara kita umat Kristiani, tanpa harus mengadopsi kepercayaannya,”
jelasnya.
Dr. Shiddiqy mengajak masyarakat Indonesia khususnya Banyumas yang
majemuk secara keyakinan dan budaya untuk menjadikan peringatan
keagamaan sebagai titik perjumpaan kemanusiaan.
“Kita belajar dari para nabi bukan hanya ajaran mereka, tapi juga
bagaimana mereka memperlakukan sesama dengan rahmat dan adil, termasuk
mereka yang berbeda keyakinan,” tutur Shiddiqy..
“Sebagai bangsa yang besar dan beragam, Indonesia memiliki tanggung
jawab moral untuk terus merawat toleransi. Figur Isa Al-Masih menjadi
contoh bahwa dari sejarah yang sama, bisa lahir pandangan berbeda
namun bukan untuk menjauh, justru untuk saling mendekat dalam
kedamaian,”katanya.