Jakarta – Penanaman Pancasila dalam kehidupan sehari-hari bisa dipahami sebagai bagian dari nilai-nilai agama yang jadi langkah strategis untuk menangkal radikalisme.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan nilai Pancasila tidak bertentangan sama sekali dengan nilai agama dan nilai budaya lokal. Maka, untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila, edukasi yang diberikan bisa juga melalui bahasa-bahasa keagamaan ataupun budaya lokal.
Dia menekankan sifat Pancasila yang mutual inklusif terhadap nilai agama dan budaya. Bukan eksklusif di mana agama menolak Pancasila dan juga sebaliknya.
“Dalam golongan elitis paradigma kritis Pancasila itu bisa lebih mudah masuk ke mereka. Kalau untuk golongan menengah ke bawah paradigma kritis itu susah,” terang Azyumardi di Megawati Institute, Senin (5/11).
Penulis buku Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi, Syaiful Arif menegaskan posisi Pancasila dan agama tidak berposisi sebagai oposisu biner.
“Paradigma culture kita menganut metode berpikir bersifat sintesis. Ini sebagai cerminan epistemologi masyarakat Nusantara. Menunjukkan totalitas dari realitas yang bernegara bangsa. Ini semua bersintesis untuk bisa menjadi satu dengan pancasila,” terang Syaiful.
Syaiful menyebutkan pengalaman mempelajari Pancasila sebagai dasar negara harus ditegaskan bukan sebagai kompromi politik semata.
“Ini bukan kompromi politik. Ini ideologi yang bersatu tetapi atas kebijaksanaan masyarakat Nusantara. Jadi setiap identitas tidak dibenturkan lewat cara berpikir oposisi biner,” pungkasnya.