MUI Tegaskan Masjid Tidak Dijadikan Tempat Kampanye Politik Praktis

Jakarta – Pengurus masjid diingatkan agar tak menjadikan masjid sebagai arena kampanye politik praktis di tahun politik. Pengurus masjid harus menjaga persatuan umat.

Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) menggelar silaturahmi dengan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dan Dai se-Jabodetabek di Gedung MUI, Jalan Proklamasi 51, Jakarta, Selasa (16/5/2023). Silaturrahim dan Halaqah ini mengangkat tema Urgensi Peran Dai dan Dewan Kemakmuran Masjid dalam Menjaga Ukhuwwah di Tahun Politik.

Ketua Bidang dakwah dan Ukhuwwah MUI Cholil Nafis menjelaskan, tujuan digelarnya acara tersebut agar para pengurus masjid dan para dai menyadari pada tahun politik rawan terjadi perpecahan umat akibat preferensi politik yang berbeda. Karena itu, menurut Kiai Cholil, dai dan pengurus masjid harus menyamakan visi dalam menggunakan masjid sebagai tempat berdakwah yang mempersatukan umat.

“Kegiatan ini dimaksudkan untuk membangun kesamaan visi antar dai dan pengurus masjid untuk tidak menjadikan masjid sebagai arena kampanye politik praktis dan penyebaran politik yang dapat memecah-belah umat untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat, mengingat masjid adalah tempat ibadah semua golongan umat muslim. Tujuannya adalah untuk menciptakan terjalinnya ukhuwwah, Indonesia damai dan kokohnya NKRI,” kata Kiai Cholil dalam keterangannya, Selasa (16/5).

Tahun 2023–2024 disebut tahun politik, karena pada tahun tersebut tensi politik Indonesia meninggi sehubungan akan dilaksanakannya pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta anggota DPD.

Berdasar pengalaman, kata Kiai Cholil, Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019, terjadi kerawanan sosial akibat politik memecah-belah umat yang mengakibatkan polarisasi dari sisi agama, ras, suku, antargolongan dan lain-lain.

“Politik yang dapat memecah-belah umat sangat membahayakan persatuan dan kesatuan NKRI sebagai negara yang majemuk dan dapat merusak prinsip Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.

Penyebaran politik yang dapat memecah-belah umat, kata Kiai Cholil, biasanya disampaikan di tempat-tempat ibadah atau tempat tertentu yang dilarang KPU untuk kampanye. Menurutnya, para dai dan pengurus masjid harus dapat membendakan apa yang disebut politik identitas dan identitas politik.

“Kalau identitas politik itu boleh. Warga masyarakat boleh memilih pemimpin berdasarkan identitas yang melekat kepadanya, apakah karena satu daerah, satu agama atau satu kepentingan, yang terpenting tidak memandang orang di luar dirinya itu sebagai musuh atau sampai menghukumi dengan hukum tertentu, misal munafik, kafir dan lain sebagainya. Atau sikap-sikap yang merasa paling bener sendiri,” katanya.