Aksi Radikal Terorisme di Indonesia diwarnai fenomena baru yang dikenal dengan nama Srigala tunggal/Lone Wolf. Istilah ini sebagai sebutan bagi pelaku terorisme yang melakukannya secara sendiri di mana pelaku telah mengalami sebuah kondisi yang dinamakan dengan Self Radicalization. Beberapa kejadian terorisme di Indonesia bisa dikatakan sebagai lone wolfer, sebut saja aksi yang dilakukan, Ahmad bin Abu Ali, seorang tunawisma pelaku bom sepeda yang nyaris menewaskan 2 anggota polantas di pos Kalimalang 30 September 2009. Leopard Wisnu Kumala pelaku pemboman Mall Alam sutera pada 9 Juli 2015, dan Ivan Armadi Hasugian pelaku penyanderaan dan rencana pemboman Gereja Santo Joseph Medan 28 Agustus 2016. Kedua aksi terorisme yang dilakukan kedua pemuda tersebut dalam pemberitaan media sering dikatakan sebagai pola baru, fenomena baru dan bentuk baru aksi terorisme yang dilakukan.
Memahami Lone Wolf, Lone Wolver dan Sejarahnya
Istilah Lone Wolf dipopulerkan oleh FBI yang pada tahun 90’an membuat suatu operasi“Lone Wolf” untuk menangkap Alex Curtis dan Tom Metzger pelopor “white supremacists” atau supermasi kulit putih. Bagi Alex Curtis dan Tom Metgzer mereka melakukan kampanye kepada sesama kaum rasis di Amerika untuk tergerak melakukan tindakannya sendiri–sendiri tanpa komando untuk melakukan pembunuhan, penggunaan senjata biologis untuk menghancurkan ras lain. Hal ini dilakukan untuk mencegah penangkapan terhadap anggota lain yang mudah dilakukan kalau itu berupa kelompok (tentunya tercatat). Alex Curtis mempopulerkan 5 kata apabila seorang lone wolfers tertangkap yaitu : “I have nothing to say”. Tom Megzer juga mengembangkan perjuangan yang berdiri sendiri, tanpa pemimpin dengan sel individu yang tidak ada hubungannya dengan sebuah organisasi.
Lone Wolfer merupakan seseorang yang melakukan aksi kejahatan terorisme dengan memberi dukungan terhadap sebuah gerakan, ideologi, paham dan kelompok tertentu, dengan pelakunya sebagai Pejuang tunggal yang sama sekali terlepas dari kelompok organisasi tertentu, struktur organisasi dalam melakukan aksi kekerasan terorisme. Sementara lone wolf merupakan jargon yang dinisbatkan kepada pelaku tersebut untuk memberikan sifat heroisme, kepahlawanan dan kejuangan. Lone wolfer ini terputus dan sama sekali tidak tehubung sebagai jaringan terstruktur dengan organisasi yang diikutinya, mereka merupakan simpatisan individual yang telah mengalami indoktrinasi paham, ajaran dan sebuah kondisi individual yang disebut dengan Self-Radicalization.
Fenomena Lone wolf pada awalnya terjadi bukan saja di Indonesia dengan fenomena ISIS hari ini yang menggunakan strategi propaganda media dalam melakukan indoktrinasi paham kekerasan untuk membentuk watak, karakter dan sikap sebagai seorang Lone Wolfer. Fenomena lone wolfer tidak selalu berbasis Keagamaan, fenomena ini pernah terjadi seperti :
- Timothy McVeigh, pelaku pemboman Kota Oklahoma menggunakan bom truk yang menewaskan 168 orang dan ratusan orang lainnya terluka.
- Theodore Kaczynski , yang dikenal sebagai “Unabomber “. Ia antara tahun 1978 hingga 1995 terlibat dalam pengiriman “paket bom” ke banyak orang, menewaskan tiga orang dan melukai 23 lainnya. Ia adalah seorang anti kemapanan yang mengancam untuk melanjutkan pemboman kecuali manifesto anti-industrinya diterbitkan oleh New York Times disetujui oleh pemerintah AS. Ia membuat bomnya pada sebuah gubuk ditengah hutan yang tanpa dialiri listrik yang sesuai dengan “anti kemapanannya”, sebenarnya Kaczynski adalah seorang Jenius lulusan Universitas Havard, ia divonis seumur hidup oleh pengadilan AS.
- Omar Saddiqui Mateen pelaku pemboman di Orlando Amerika yang menewaskan hingga 50 Orang lebih.
- Leopard Wisnu Kumala pelaku pemboman Mall Alam sutera pada 9 Juli 2015.
- dan Ivan Armadi Hasugian (IAH) pelaku penyanderaan dan rencana pemboman Gereja Santo Joseph Medan 28 Agustus 2016.
Propaganda sebagai Pola Indoktrinasi Membentuk Karakter Radikal Terorisme
Propaganda secara definisi berasal dari bahasa Latin modern: propagare yang berarti mengembangkan atau memekarkan adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda adalah sebuah upaya disengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan memengaruhi langsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang dikehendaki pelaku propaganda.(wikipedia).
Karena sifat propaganda dapat memanipulasi kognisi dan afeksi dari seseorang menjadi strategi yang efektif bagi kelompok radikal terorisme dalam melancarkan penyebaran pahamnya, bahkan kelompok ISIS membentuk sebuah divisi sendiri yang memiliki tugas sebagai divisi propaganda. Sebut saja Salman al-Fayad atau dikenal sebagai Abu Mohammed al-Furqan, kepala propaganda ISIS, diketahui tugas Divisi ini meliputi memproduksi, memperbanyak dan menterjemahkan konten-konten, narasi-narasi, gambar, video bahkan menerjemahkannya dalam beberapa bahasa di dunia untuk menyebarkan, menghasut dan mengajak (rekrutmen) untuk bergabung dan mendukung ISIS.
Divisi ini menggunakan teknologi informasi sebagai sarana yang efektif dalam melancarkan propaganda di dunia maya (internet). Beberapa kejadian aksi terorisme disebabkan propaganda kelompok ini, pelaku tidak lagi memiliki kesadaran dirinya dan lingkungan, paham ini merasuki dirinya dengan pembenaran-pembenaran yang meliputi isi kepala si pelaku, watak, sikap dan karakter si pelaku teror tersebut. Narasi dan jargon disebarkan untuk membentuk persepsi si pelaku tentang fenomena yang ada, bahkan fenomena dan fakta telah ditafsirkan sesuai dengan kepentingan si Propagandis (baca:yang menyebarkan propaganda).
Beberapa narasi yang acapkali digunakan, Jihad, Hijrah, Takfiri/Pengkafiran, Daulatul Islam, Penyembah berhala Thougut. Strategi indoktrinasi dilakukan melalui berbagai sarana komunikasi seperti Media online,website-website, Sosial Mesangger, (telegram, whatsupp, Line) dan media sosial (facebook.tweeter,path). Diketahui dunia maya saat ini menjadi ladang subur kelompok radikal dalam menyebarkan dan menumbuhkan pemahaman radikal dengan potensi 88,1 Juta pengguna dunia maya di Indonesia.
Radikalisme Dan Self-Radicalization Jalan Menuju Terorisme
‘Radicalization’ secara etimologi atau akar bahasa berasal dari bahasa latin ‘radix’[1] yang berarti akar dalam arti sesungguhnya atau juga asal-muasal dari sesuatu. Dalam pengertian bahasa Inggris yang tercantum pada Oxford English Dictionary ‘radicalization’ memiliki arti ‘(1) berhubungan atau mempengaruhi sifat dasar dari sesuatu; (2) advokasi melalui sistem politik atau perubahan sosial yang ekstrem; (3) advokasi melalui perubahan politik atau perubahan sosial yang radikal’[2]. Dari pengertian ini kita bisa mendefinisikan ‘radicalization’ dalam makna bahasa ‘mempengaruhi sifat dasar atau kondisi dari suatu sistem politik kepada suatu perubahan sosial yang ekstrem,
Divisi Intelijen New York Police Department memberikan empat tahapan model ‘radicalization’[13], yaitu : 1. Pre-radicalization, 2. Self-identification, 3. Indoctrination, 4.Jihadization. Empat tahapan ini akan membuat pemahaman akan proses ‘radicalization’ menjadi lebih mudah untuk dipahami.
- pre-radicalization tahapan ini digambarkan sebagai suatu situsasi kondisi ketika individu sebelum bertemu dan berinteraksi dengan ideologi radikal. Dalam kondisi ini individu hidup dalam suatu kehidupan yang normal dan biasa dan hanya menjadi orang-orang yang biasa saja. Pada titik ini individu dianggap belum menerima ideologi radikal yang kemudian akan mempengaruhinya secara motivasional untuk menjadi teroris dan melakukan tindakan-tindakan terorisme.
- self-identification tahapan ini dicapai ketika seseorang individu mulai tertarik untuk mempelajari literatur-literarur mengenai ideologi radikal yang mulai membuka kesadaran ideologisnya atau ‘pembukaan kognitif’, yang kemungkinan hal itu dipicu juga oleh faktor-faktor lain seperti masalah-masalah ekonomi, sosial, politik atau personal yang dihadapi oleh individu tersebut. Dalam pembahasan lain individ mengalami pembukaan kognitif dikarenakan mendapati satu krisis yang mengguncang keyakinan yang telah dipegang sebelumya (Silber & Bhatt 2007 : 6).
- indoctrination pada tahapan ini individu mulai meningkatkan intensitasnya dalam mempelajari ideologi dan cara pandang yang radikal dan kemudian mulai bersama-sama berkumpul dengan individu-individu lain yang berpikiran serupa yang mendukung intensitas pembelajaran dan pemahaman radikal tersebut dibawah bimbingan seorang mentor ideologis atau guru spiritual (Silber & Bhatt 2007 : 7).
- jihadization yang berarti ketika individu telah menerima ide-ide dan gagasan jihad sebagai suatu kewajiban, tugas personal yang harus dipenuhi, dan mulai merencanakan aksi-aksi dan tindakan terorisme. Pada tahapan ini juga individu telah berkomitmen untuk melakukan tindakan-tindakan terorisme atau telah siap untuk menjadi pejuang martir menurut perspektif yang mereka yakini.
Berangkat dari empat tahapan ini bagaimana kemudian mengindentifikasi dan mengurai seorang Lone Wolfer dalam melakukan aksi terorisme. Seorang lone wolfer telah mengalami suatu kondisi yang dinamakan dengan Self Radicalization, yaitu sebuah sikap individu yang telah mengalami proses empat tahapan tersebut. Pelaku teror telah terpengaruh atas propaganda penyebaran doktrin Jihad, peperangan dan kekerasan sebagai sebuah Iman dan kewajiban. Kekerasan tidak dipandang lagi sebagai negative, tetapi sebagai perjuangan dalam kehidupan seorang pelaku teror tersebut. Seorang yang telah mengalami situasi ini sangat sulit membedakan lagi bahkan membandingkan, memeriksa sebuah informasi yang benar, bagi orang ini/lone wolfer aksi kekerasan terorisme di ibaratkan sebagai bentuk loyalitas.
Persembahan dan dukungan terhadap organisasi yang menyebarkan propaganda tersebut, tanpa terhubung dan terkomando sekalipun seorang yang telah terjangkit tak segan-segan melakukan aksi terorismenya. Inilah sebuah fenomena baru yang terjadi kelompok radikal terorisme menyebarkan propagandanya untuk membentuk watak-watak kekerasan atas nama perjuangan Agama dan Tuhan.