Nina bobok Berita yang tidak digemakan
Sungguh kontradiksi dengan apa yang kita dengar di forum-forum global dan regional termasuk blowing up Media bahwa terorisme di Marawi Filipina telah tuntas, tutup buku, dan sudah tidak menjadi ancaman lagi. Sehingga kita Indonesia – yang sejatinya memang sudah relatif aman -kemudian ikut-ikutan latah mengatakan bahwa urusan Marawi sudah selesai.
Masyarakat dunia lupa bahwa terorisme itu ibarat virus. Diobati pada satu sisi yang kronis, dia sebetulnya sudah menjalar di tempat lain yang kurang terdeteksi dan tidak pernah terprediksi. Atau terorisme juga ibarat jamur dalam jerami yang tidak kelihatan, namun subur merayap hanya dengan sirawan sedikit air.
Dalam konteks inilah, saya ingin menegaskan bahwa terorisme senantiasa ada dan melakukan hibernasi, tiarap, menunggu pencetus-baik akibat situasi global, regional ataupun politik domistik lokal. Persoalan ini pula yang terjadi di Marawi. Semua sudah meyakini bahwa situasi di sana sudah aman terkendali. Pemerintah telah mampu mengendalikan situasi. Apakah benar situasinya demikian?
Penulis kira tidak ada keberanian dari pemerintah Filipina melakukan klaim aman. Ada informasi yang menguraikan betapa kelompok teroris di Filipina mulai lagi menunjukkan keberadaannya saat ini. Misalnya pada jumat 15 November 2018 beberapa hari lalu diberitakan kelompok Abu Sayaf kembali menyerang Militer di Baranggai Luang, Patikul Sulu. Akibat serangan tersebut 5 anggota Militer, Tewas dan 23 yang lainnya luka luka. Serangan dimulai sejak 4.10 sore.
Selain itu diinformasikan pula bahwa telah terjadi kontak senjata antara sekitar 50 sampai 60 militan Abu Sayyaf di bawah Almuder Yahya dengan Batalyon Infantri ke 41. Pada tanggal 21 oktober 2018 Penulis juga mendapatkan informasi bahwa 3 anggota Abu Sayyaf telah ditangkap. Menurut laporan yang dirilis satgas komando wilayah Mindao Barat Westmincom Tiga teroris itu adalah Gafur Albani Absari, Medzfar Mangabong dan Madjid Mangabong.
Selain kedua kejadian tersebut, sebetulnya masih ada beberapa serangan kecil-kecil tersebar pada beberapa minggu sebelumnya. Kondisi ini menghadirkan Indikasi bahwa sejatinya terorisme di Filipina belumlah sepenuhnya dapat dituntaskan sebagaimana informasi yang diterima publik selama ini.
Situasi Umum Marawi
Konflik Marawi adalah sebuah contoh tentang perang perkotaan (urban welfare) yang telah mengorbankan berbagai tatanan sosial, lingkungan dan infrastruktur di sebuah negara tetangga kita, Filipina . Peran ini juga berdampak buruk pada kondisi sosial, ekonomi dan psikolologi masyarakat. Betapa tidak peristiwa perlawanan pada Mei 2017 telah menyebabkan masyarakat harus pindah dari pemukiman asli mereka. Bentrok lima bulanan itu telah merubah kota Marawi menjadi kota hantu laksana dalam film-film horor. Sekitar 600.000 sampai 800.000 masyarakat mencari perlindungan dan tumpangan di kota kota tetangga.
Awal tahun 2018 sebagian area mulai pulih kembali. Sementara yang dipengungsian berjumlah lebih kurang 50.000 orang. Di kota Saguiran (sebuah kota dekat Marawi) yang berpenduduk 3.244 jiwa ini tempat pusat evakuasi tercatat pada bulan Febuari 2018 masih ada 187 keluarga yang terlantar yang kebanyakan wanita, anak anak bahkan bayi. Mereka ditampung di bekas gedung olahraga beralas kardus. Ada yang sambil membuka gelar dagangan semata untuk memperpanjang hidup mereka. Masyarakat itu tidak percaya aparat, begitu pula tidak percaya pada pemberontak Moute. Faktanya kata mereka, barang-barang mereka dijarah habis.
Sekarang Marawi tinggal kenangan. Serangan udara pemerintah telah mengubah total kehidupan mereka di Marawi sebagai kota kebanggaan bagi masyarakat Muslim Mindanao. Apalagi sejak 30 Januari 2018 kala Presiden Duterte meresmikan pembangunan Kamp militer keduanya di Marawi. Masyarakat marah karena pembangunan kamp secara otomatis akan mengusir penduduk. Pemerintah lebih fokus membangun kamp militer ketimbang membangun rumah penduduk. Mereka juga menerjemahkan bahwa otonomi yang diperjuangkan puluhan tahun sama saja dengan ” ditolak”.
Persoalan mengganjal lain yang muncul adalah seluruh pulau Mindanao dengan penduduk 20 juta tersebut masih dinyatakan sebagai daerah dalam keadaan Darurat militer. Status itu diperpanjang sampai akhir 2018. Dalam kondisi tersebut, jika terjadi konflik lagi masyakat tidak saja bisa menjadi korban militer, tetapi juga korban kelompok teroris.
Peran Masyarakat dan LSM
Sudah mahfum di pikiran kita bahwa setiap ada daerah konflik, maka banyak LSM yang ingin melibatkan diri dalam berbagai aktifitas kemanusiaan di sana. Di Mindanao ada Ranao Women and Children Resource Center Inc (RWCAC) yang sangat aktif membantu saat pemindahan penduduk dalam progran Mindanao Humanitarian Action Network (MINHAND). Mereka juga melakukan konseling trauma untuk orang dewasa dan anak-anak di pusat-pusat evakuasi dan kamp pengungsi di kota Illegan.
Persoalan juga timbul saat militer masuk Marawi di mana secara umum militer Filipina yang kebanyakan beragama Kristen dianggap tidak tahu adat budaya Maranao, khususnya tata bergaul dan menghadapi wanita muslim. Karena dengan adanya kamp militer, berarti kehadiran tentara, khususnya yang laki-laki dalam interaksi dengan masyarakat termasuk dengan perempuan. Diperparah lagi setelah ditemukan terowongan bawah tanah yang digunakan untuk menyimpan senjata, barang berharga dan makanan saat bulan Ramadhan.
Kekecewaan demi kekecewaan dirasakan masyarakat. Mereka putus asa. Di illegan City hangat diperbincangkan betapa pemerintah telah sewenang-wenang memindahkan masyarakat normal ke gubug-gubug kardus di Pinggiran kota Marawi. Pusat penampungan bagi pengungsi Maranaos berada di Buru-un Perikanan Illegan city adalah yang terbesar. Mereka tidak akan bisa kembali ke pusat kota Marawi yang sudah hancur yang tidak boleh dibangun lagi, karena disamping dilarang disitu sudah ada camp militer. Sungguhpun demikian masyarakat senantiasa mengharapkan wajah Marawi yang baru yang penuh perdamaian.
Masyarakat dari kalangan akademisi juga memberikan pandangan yang relatif beragam. Moumina Sheryne L. Domadalug, pengacara Maranao muda yang tinggal di Iligan City menegaskan bahwa membangun kamp militer lain di Marawi akan sangat berbahaya, karena bisa memicu radikalisme baru. Masyarakat komunitas muslim akan merasa diawasi dan dianggap sebagai kelompok berbahaya bagi Negara. Hal ini tentu saja berpotensi melahirkan reaksi karena merasa maratabat dan akidah masyarakat Maranaos terganggu. Bukan tidak mungkin dukungan kepada kelompok Moute bukannya surut, tetapi sebaliknya semakin menggelora.
Mereka, masyarakat Marnaos, dengan kekuatan dan dukungan sosialnya berpendapat apabila ada kamp militer di lingkungan masyarakat sipil yang sedang menderita berarti di situ ada kehadiran tentara, terutama laki-laki. Di Marawi, mereka akan melakukan interaksi dengan perempuan yang dalam budaya Maranao adalah orang-orang yang pekerja level bawah di toko-toko atau bekerja sebagai tukang cuci dihadapkan dengan pemuda militer yang rata-rata suka minum-minuman yang bertentangan dengan Islam.
Bagaimana situasi demikian akan diterima oleh pria-pria di Maranao? Militerisasi mungkin berarti perdamaian sekarang, tapi akan bertahan berapa lama? Berbagai persoalan itu akan dijadikan argumen bagi rekrutmen yang sempurna oleh kelompok seperti Maute dan kelompok kelompok lain. Membangun kamp seharusnya menjadi prioritas kedua setelah membangun kembali kota.
Prediksi Ancaman Terorisme yang Mungkin Terjadi di Filipina dan Indonesia
- Pola Pergerakan
Ekses kekalahan terorisme Global ISIS telah berdampak pada terjadinya pergeseran pola pergerakan terorisme global. Kekalahan ISIS membuat pejuang ISIS kocar-kacir dan berusaha keluar dari Central of Gravity, Irak-Suriah. Mereka akan mencari Medan baru bagi tegaknya Ideologi dan cita-cita mereka. Sebagian kelompok tertangkap, menjalani hukuman atau deportasi. Sebagian lain terpaksa ditembak.
Dari pengamatan Penulis terhadap pola penyebaran kelompok ISIS pasca runtuhnya Irak-Suriah terdapat bentuk para militan yang beragama. Penulis mencoba mengelompokan mereka dalam beberapa kategori :
Pertama; Frustrated Travelers – yaitu orang-orang yang tidak berhasil bergabung ke Suriah karena terlebih dahulu sudah dideportasi oleh negara transit.
Kedua ; Returnees atau Foreign Terrorist Fighters (FTF) yang sudah kembali ke Indonesia dari negara konflik.
Ketiga ; Relocated, yakni mereka yang kembali baik karena returnees dan FTF tetapi tidak kembali ke negaranya, pindah ke negara lain dan membangun jejaring sel radikalisme baru
Keempat ; Unexpected actors, yakni fenomena perubahan pelaku teror, gabungan antara frustrated traveler dan radikalisasi pola kinship radicalism process. Kasus Dita dan keluarga di Surabaya adalah contoh kasus ini.
- Pola Pendanaan kekinian terorisme
Sebagai organisasi tanzim ziry, pola pendanaan terorisme pun juga berkembang sesuai dengan kebutuhan, situasi dan keamanan. Para pelaku tindak pidana pendanaan terorisme selalu mencari solusi transaksi pendanaan yang tidak mudah terdeteksi aparat.
Fintech seperti PayPal, Crypto currency dan MoneyGram disinyalir mereka gunakan untuk pendanaan aksi teror.
- Pola Sebaran
Bagi organisasi teroris batas negara bukanlah hal penting. Batas negara hanyalah sebuah atensi agar tidak terendus aparat. Hal yang dicemaskan negara apabila para mantan returnees dan FTF melakukan hibernasi, tiarap dan menjadi sleeping sell, namun mencoba merubah gerakan yang semula global menjadi gerakan lokal domestik (Glokalisasi).
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai negara sahabat sesama Asean yang memiliki berbagai kesamaan, tentu Indonesia harus waspada. Pengalaman masa lalu betapa hubungan antar jejaring Jamaah Islamiyah, pelatihan pada kamp Abu Bakar, Hudaibiyah, Assidiq dan pembagian wilayah perjuangan telah memposisikan kedua negara sama. Sama dalam ancaman dan resiko serta sama dalam polarisasi gerakan radikalisnya.
Dalam kasus Marawi pun ada keterlibatan WNI dan dukungan dari jejaring lokal. Ada keinginan kuat dari beberapa kelompok radikal dari Sumatera dan Jawa yang ingin bergabung. Artinya dua Negara ini dalam sejarah terorisme di Asean juga mencatat pengalaman yang cukup dekat.
Karena itulah, kolaborasi antar jaringan harus diputus dengan penegakan hukum yang tegas, namun tetap dengan pendekatan humanis. Sejalan itu pendekatan lunak terhadap napi, mantan napi dan keluarganya juga harus kian ditingkatkan. Dan terpenting dalam kasus terorisme regional ini membutuhkan kerjasama antar Negara yang kuat baik dalam aspek pendekatan keras dan lunak.
Damailah Indonesiaku