Membaca Jejak Propaganda Radikal Terorisme di Dunia Maya

Data pengguna dunia maya di Indonesia menurut rilis yang dikeluarkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama dengan Pusat Kajian Komunikasi UI (PUSKAKOM)  pada tanggal 14 April 2015  sebanyak 88,1 Juta pengguna, dengan sebaran terbesar di Pulau Jawa sebanyak 52,0 Juta dan Pulau Sumatera 18,6 Juta. Sisanya terbagi di Kalimantan, Sulawesi dan wilayah Indonesia bagian Timur. Dengan jumlah Penduduk Indonesia 252,4 Juta penetrasi pengguna internet mencapai 34,9 %.  Jumlah ini cukup fantastis yang menggambarkan perkembangan penggunaan teknologi informasi di Indonesia. Internet bahkan bergeser dari kebutuhan sekunder menjadi hal yang primer. Dari jumlah pengguna internet tersebut 80 persen di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun.

Perkembangan internet di Indonesia seperti pisau bermata dua. Di satu sisi memiliki dampak positif bagi perkembangan pemuda Indonesia yang melek teknologi, di sisi lain internet memiliki dampak negatif dengan mudahnya mengakses informasi di dunia maya. Pemuda sangat mudah memperoleh informasi yang berkembang di dunia maya seperti konten kekerasan, pornografi dan konten radikal terorisme.

Membaca kecenderungan pengguna internet di Indonesia dapat dipetakan dalam tiga kategori. Pertama, menggunakan jejaring sosial; kedua mencari info (searching/browsing); dan yang ketiga instan messaging. Hal menjadi bahan analisis kemudian bagaimana hubungan,kecenderungan dan dampak pengguna internet dengan pola propaganda kelompok radikal terorisme di Indonesia?

Membaca Dampak

Beberapa kejadian terorisme di Indonesia disebabkan informasi di dunia maya. Sebut saja, Novaldi Remaja 18 tahun asal Jambi yang menyandera Ayah dan Adiknya dengan meminta uang 300 Juta dengan alasan untuk Hijrah dan Jihad ke Suriah. Kemudian Bom Alam Sutera Leopard Wisnu Kumala melakukan aksi teror di Mall Alam Sutera yang mengaku belajar merakit Bom dari internet. Dan yang baru saja terjadi Ivan Armadi Hasugian (18 Tahun) melakukan aksi teror di Gereja di Medan.  Dengan tiga kecenderungan pengguna internet, yakni menggunkan jejaring sosial, browsing dan instan messaging dan 80 persen remaja pengguna internet sangat rentan berpotensi dipengaruhi propaganda kelompok radikal terorisme. Kelompok ini memanfaatkan dunia maya dalam menyebarkan, menghasut, mengajak, kaderisasi online bahkan bai’at online untuk bergabung dengan kelompoknya,

Menganalisa Propaganda

Kelompok Radikal terorisme ISIS dikenal karena propagandanya yang luas dan efektif. ISIS memakai Bendera Hitam dan merancang lambang yang memiliki makna simbolis di kalangan umat Islam. Selain pencitraan yang brutal, ISIS mencitrakan dirinya sebagai “negara impian yang emosional, tempat orang-orang ‘kembali, ketika semua orang adalah ‘saudara’ atau ‘saudari’. Adaptasi atau singkatan istilah Islam yang disesuaikan dengan bahasa prokem mulai merebak di akun-akun media sosial berbahasa Inggris untuk menciptakan citra ‘jihadi keren’.

“Alasan psikologis yang paling manjur” dari propaganda media ISIS adalah janji surga bagi para pejuang yang syahid. Media ISIS sering mengekspos foto jihadis syahid dengan wajah tersenyum, ‘salam’ ISIS berupa ‘telunjuk yang mengarah ke langit’ (Wikipedia). Sebuah Survey yang dibuat oleh Brookings Institution pada bulan Maret 2015 memperkirakan ada sedikitnya 46.000 akun Twitter yang dimiliki pendukung ISIS atau  ISIL. Selain Twitter, Facebook, dan Telegram, kelompok ini juga rajin memposting video kekerasan dan menyebarkan materi dalam berbagai platform digital lainnya (icdw.org).

Propaganda seperti ini tanpa terkecuali di Indonesia banyak dilakukan website-dan akun radikal sebut saja seperti akun www.bahrunnaim yang dalam kontennya banyak sekali memproduksi propaganda. Menurut Bruce L Smith dalam  Encyclopedia Social Science, “propaganda ialah Manipulasi relatif secara sengaja dengan menggunakan simbol (kata-kata,sikap,bendera, atau musik) terhadap pikiran atau tindakan orang lain dengan sasaran terhadap kepercayaan, nilai dan perilakunya. Sedangkan menurut  IPA Theory (Institute for Propaganda Analysis)  Propaganda dilancarkan secara halus/kasar (bergantung konteks) pengaruh itu meliputi Persepsi, Kognisi, Sikap dan Reaksi Emosional  

Jejak Propaganda Kelompok Radikal Terorisme

kelompok radikal terorisme ISIS menggunakan jargon, slogan dan terma-terma seolah ajaran agama Islam seperti narasi Jihad, Hijrah, Daulatul Islam, Kafir, Thogut penyembah berhala sebagai propaganda untuk memanipulasi persepsi dan kognisi pengguna dunia maya. Di Indonesia terutama remaja sebuah usia yang masih sangat rentan  dipengaruhi lingkungannya dalam hal ini lingkungan bukan sekedar situasi di mana remaja itu tinggal, tetapi lingkungan interaksi di dunia maya. Kelompok ini bahkan melabelkan kelompoknya dengan Jihadi Media atau Kesatria Media.

Contoh tiga remaja dalam peristiwa berbeda di atas adalah korban indoktrinasi propaganda Kelompok radikal terorisme ISIS di dunia maya. Menelisik perkembangan pola propaganda kelompok radikal terorisme sejak berdirinya ISIS Abu Bakar Al Baghdady pada 15 Mei 2010, pada awalnya nampak pola propaganda dilakukan secara kasar (Hard), Materi propaganda langsung menyerang simbol-simbol Negara dan kelompok narasi kebencian, ancaman dan hasutan, bahkan propaganda langsung menyerang pemimpin Negara-negara dengan narasi Kafir, Thogut penyembah berhala.

Hal yang lebih mengerikan tak jarang kelompok ini menampilkan kekejaman dan kekerasan yang disebarkan di dunia maya. Pada perkembangan berikutnya, saat ini pola propaganda kelompok ini mengalami perubahan strategi dalam menyebarkan propagandanya dengan pendekatan secara halus (soft. Melalui pola yang disebut dengan Glittering Generalities Merupakan Teknik propaganda yang digunakan untuk menonjolkan propagandis (kelompoknya) dengan mengidentifikasi dirinya dengan segala apa yang serba luhur dan agung. Dengan kata lain propagandis berusaha menyanjung dirinya mewakili sesuatu yang luhur dan agung melalui ungkapan seperti kata-kata “demi keadilan dan kebenaran”.

Narasi-narasi kekejaman mulai dikurangi. Kelompok ini merubah pola propaganda seolah terlihat lebih ilmiah. Pendekatan keagamaan secara rasional dengan idiom-idiom Jihad dan hijrah, pengguna dunia maya di bawa secara halus untuk mengikuti dan bergabung dengan kelompoknya. Bahwa jihad dan hijrah adalah sebuah keniscayaan ajaran Islam, hijrah menuju Suriah dan Jihad sebagai keharusan yang  ditafsirkan dengan peperangan dan memerangi. Bahkan secara serampangan  ditafsirkan tidak ada kewajiban dalam jihad untuk meminta izin kepada orang tua karena ini Fardhu Ain. Sederet dalil dan tafsir digunakan untuk pembenaran propaganda kelompok ini. Seolah keluhuran dan titah agung Tuhan yang turun kepada Al Baghdadi yang baru saja terjadi. Kelompok ini pun aktif mempropagandakan Hijrah di Pergantian Tahun Baru Islam 1438 H,

Dalam uraian di atas nampak potensi kerawanan dan ancaman 80 % Remaja Indonesia dan 88,1 Juta pengguna internet dari terpaparnya paham radikal terorisme. Dengan perubahan pola secara soft tersebut akan makin mempermudah kelompok ini dalam mempengaruhi dan memanipulasi sikap, kognisi remaja Indonesia. Potensi ancaman dari sifat propaganda yang permanen dalam merusak tatanan bernegara dan berbangsa, dilakukan dengan cara yang luar biasa massif  dan  karakteristik propaganda yang siklus dalam arti penyebaran secara berulang ulang materi propaganda dengan momentum yang terjadi.

Berangkat dari inilah menjadi tugas bersama komponen Bangsa Ulama dan Umara melalui strategi sinergitas kelembagaan dan sinergi Kebangsaan untuk meredam dan menghentikan propaganda kelompok radikal terorisme di dunia maya.”

Ayo Cerdas di dunia maya, Cegah terorisme secara Semesta”