Tidak bisa dipungkiri bahwa radikalisme dan terorisme sejak lama telah memiliki akar di Indonesia. Sejarah telah menunjukan bahwa bahkan sejak negeri ini berhasil merebut kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, radikalisme dan terorisme telah mulai menebar ancamannya. Data dari berbagai literatur juga menunjukkan bahwa pada tahun 1949 misalnya, kelompok “Darul Islam” alias D.I yang bermimpi untuk mendirikan negara Islam di Indonesia telah menancapkan pasak perjuangannya, meski telah jelas-jelas disepakati Indonesia bukan negara agama. Di tahun itu pula muncul nama Kahar Muzakar yang ngotot merapatkan barisan untuk menggerogoti Indonesia dengan melakukan pergerakan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi pada umumnya.
Tahun 1957 bahkan mencuatkan nama seorang anak muda bernama Achmad Kandai yang nekad melemparkan granat ke araha presiden Soekarno yang sedang menghadiri perayaan di sebuah sekolah di daerah Cikini ,Jakarta pusat. Nama anak muda itu kemudian menjadi perhatian serius pemerintah karena melalui anak-anaknya ia membangun afiliasi kuat dengan Jamaah Islamiyah (JI) yang juga menginginkan berdirinya negara Islam di Indonesia.
Kasus terorisme yang mungkin masih melekat kuat di ingatan kita adalah tragedi serangan bom terhadap 9 stupa di candi Borobudur, Jawa Tengah pada tahun 1980-an. Selain itu negeri ini juga pernah digemparkan oleh teror Cicendo, pembajakan pesawat Garuda Indonesia, serta beberapa aksi teror lain yang membuktikan bahwa terorisme bukan hal baru bagi negeri ini.
Meski demikian, perkembangan zaman telah turut memainkan peran dalam pergeseran pola terorisme, sehingga terorisme yang ada di masa dahulu berbeda dengan yang ada di masa sekarang. Dulu kelompok teroris dipisahkan berdasarkan motif; separatisme, idiologi politik, dan criminal, sehingga dalam penanganannya pun melalui fase yang berbeda-beda. Hal ini tampak misalnya pada jaman Orde Lama, dimana penanganan terorisme dilakukan dengan pendekatan subversif melalui operasi militer –yang mana hal ini sesuai dengan kebutuhan saat itu–.
Memasuki Orde Baru penanganan terorisme dilakukan dengan pendekatan intelijen melalui peran Abri melalui operasi kopkamtib sampai kopkamtibda, serat laksus sampai laksusda. Pasca reformasi pemerintah menekankan upaya penegakan hukum yang diserahkan kepada Polri sebagaimana termuat dalam TAP MPR no 6 dan 7 tahun 2000.
Sebagai upaya untuk optimalisasi penanganan terorisme, pemerintah kemudian membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang salah satu tugas pokoknya adalah mengkordinasikan kementrian dan lembaga terkait untuk menyusun strategi nasional penanganan trorisme. Dalam hal ini peran TNI digunakan manakala pihak Polri sudah kondisi ”beyond police capacity”. Hal ini antara lain terkait dengan medan TKP yang sulit, rentang distribusi sarana prasarana, serta kemampuan Matra Polri, khususnya Densus 88 yang terbatas.
Salah satu keberhasilan utama penanganan terorisme di Indonesia adalah terbongkarnya jaringan terorisme yang telah menyebar di Indonesia. Baru-baru ini pula, negeri gemah ripah loh jinawi ini mendapat apresiasi positif dari dunia. Hal itu ditunjukkan dengan mulai banyaknya perwakilan dari negara-negara sahabat yang datang dan belajar penanganan terorisme dari kita.
Namun tentu, keberhasilan terbesar negeri ini dalam penanganan terorisme adalah tumbuhnya daya tangkal yang kuat di tengah masyarakat. Peristiwa serangan teroris di Thamrin beberapa waktu lalu misalnya, telah membelalakkan mata dunia terutama tentang tingginya respon masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam melawan terorisme. Kekompakan dan kesadaran kuat dari masyarakat terbukti berhasil membuat terorisme sekarat.
Di lini masa media sosial kita juga terpampang jelas kenyataan bahwa masyarakat kita tidak takut terhadap terorisme. Alih-alih tunduk dan kelimpungan, masyarakat justru menjadikan terorisme sebagai bahan guyonan. Tentu bukan lantaran terorisme sebuah lelucon, respon humor itu untuk menunjukkan bahwa rencana kelompok teroris untuk menteror masyarakat indonesia gagal total. Sekali lagi, gagal total!
Kekaguman dunia juga tertuju pada respon cepat dan akurat pihak kepolisian yang berhasil menjungkalkan teroris tidak lebih dari 11 menit. Saat itu seluruh personel polisi tumpah ruah menggeruduk pelaku teror. Tercatat di TKP terdapat Brimob, Polantas, Sabahara, bahkan Polair yang sebagian tidak sedang bertugas. Tentara juga begitu cepat mendatangi TKP, tidak sampai 37 menit pasukan TNI lengkap dengan puluhaan pansernya.
Dan bisa dipastikan juga intel kodam jaya langsung menyebar mulai dari istana sampai bundaran HI. Di sisi lain, masyarakat juga tidak ketinggalan mepet para teroris dengan ‘cara’ mereka masing-masing. Masyarakat berbondong-bondong memberi support kepada aparat yang sedang bekerja. Beberapa ibu-ibu sempat kedapatan memberikan botol minumnya kepada anggota yang sedang jongkok dengan senjata panjang mengawasi musuh di depan. Betapa mereka begitu percaya diri, berdiri terbuka tanpa perlindungan, memberikan minum kepada anggota yang sedang berlindung sambil siap menembak.
Beberapa orang juga tampak memberikan kacang rebus kepada aparat, tentu yang istimewa dari ini semua bukan terletak pada air mineral maupun kacang rebus, tetapi dari keberanian dan kekompakan masyarakat dalam menghadapi begundal yang bikin rusuh.
Bagaimana dengan pejabat negara? hampir semua pejabat pemerintah mulai Presiden hingga pejabat dari tingkatan lain datang ke TKP tanpa sedikitpun merasa takut terhadap serangan susulan yang sewaktu waktu bisa datang. Masyarakat mendukung ini dengan memampang berbagai poster kreatif nan inspiratif seperti; “ #tolak ngumpet “, “#eksis bro”, “ Jokowi oye” atau “siapa takut?”.
Dukungan masyarakat ini tentu menjadi dorongan tersendiri bagi aparat negara, dan benar saja, tidak sampai 6 jam polisi berhasil membekuk 12 orang yang terindikasi memiliki kaitan dengan serangan bom Thamrin. Dari 1.065 teroris yang sudah ditangkap, dengan 14 orang diantaranya melakukan bunuh diri, ancaman terorisme mengalami penurunan yang signifikan. Hal itu bisa dilihat mulai dari kualitas bahan ledak yang terus menurun, efektifitas serangan yang semakin kacau balau.
Kali ini teroris terjerembab karena kita semua hebat!