Mantan Napiter: Salah Cari Figur, Anak Muda Bisa Jadi Intoleran

Jakarta — Proses pencarian jati diri sering kali menjadi celah
masuknya paham radikal ke dalam kehidupan anak muda. Hal ini
disampaikan Muhammad Sofyan Sauri, mantan anggota kelompok radikal,
dalam diskusi Beranda Nusantara bertema “Kolaborasi untuk Damai:
Media, Pemuda, dan Upaya Deradikalisasi” yang digelar di Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Rabu (18/6/2025).

Menurut Sofyan, banyak pemuda terjerumus dalam radikalisme karena
keliru dalam mencari sosok teladan atau figur yang dijadikan panutan.
“Ketika mencari figuritas yang salah, anak muda bisa berubah
drastis—dari yang semula santun dan rajin ibadah menjadi pribadi yang
psikopat dan intoleran,” ujarnya dikutip dari laman rri.co.id.

Ia menjelaskan bahwa radikalisme tidak muncul secara instan, melainkan
melalui proses bertahap. Bermula dari sikap konservatif yang tidak
dibarengi pemahaman menyeluruh, berkembang menjadi fundamentalisme,
lalu bermuara pada ekstremisme. “Pikiran yang sempit dan tertutup
terhadap pandangan lain adalah akar dari radikalisme,” tambahnya.

Sofyan menekankan bahwa radikalisme berangkat dari satu perspektif
yang dianggap paling benar, sembari menolak perbedaan dan keberagaman.
Ketika paham itu masuk ke tahap ekstrem, kekerasan menjadi jalan yang
dianggap sah.

“Konservatif itu bisa baik, selama sejalan dengan nilai agama secara
utuh. Tapi ketika konservatisme tumbuh menjadi fundamentalisme tanpa
nalar kritis, maka tinggal selangkah lagi menuju ekstremisme,”
jelasnya.

Sebagai solusi, ia mendorong pentingnya pendidikan sosial yang mampu
memperkenalkan spektrum pemikiran dari konservatif hingga radikal
secara objektif. Tujuannya adalah agar generasi muda mampu mengenali
gejala awal dari pemikiran yang menyimpang.

“Ada spektrum dalam pemikiran sosial. Jika dibiarkan terus bergerak ke
arah ekstrem, ujungnya adalah teror. Itu sebabnya anak muda harus
waspada dan kritis,” tegas Sofyan.

Selain pendekatan edukatif, Sofyan juga menyoroti pentingnya budaya
kolaborasi dan perayaan atas keberagaman sebagai benteng sosial
terhadap radikalisme. Kegiatan bersama yang positif, menurutnya, bisa
memperkuat rasa kebersamaan dan toleransi di kalangan pemuda.

Jika tidak ditangani secara serius, ia memperingatkan, radikalisme
bisa menjadi beban berat bagi masa depan bangsa. Oleh karena itu,
upaya pencegahan harus terus digencarkan—tidak hanya lewat narasi
damai, tapi juga melalui penguatan nilai-nilai sosial dan kebhinekaan.