Mantan Napiter Ini Menyesal Belajar Agama Secara Online

Bandarlampung – Mantan narapidana terorisme (napiter) Arif Budi
Setyawan (39) tak mampu menyembunyikan rasa penyesalan saat
mengungkapkan kenapa ia bisa terlibat dalam jaringan terorisme.
Menurutnya, itu semua berawal dari keinginan dia memperdalam belajar
agama secara online di internet.

Arif bercerita, berawal dari keinginannya untuk lebih mendalami agama,
untuk menjalani hidup yang lebih baik. Seiring dengan pertumbuhan
teknologi, ia pun tidak terhindar dari arus informasi di internet.
Namun, kesalahan besar telah dilakukannya dengan memilih jalur yang
keliru dalam memperoleh ilmu agama.

Arif menceritakan bagaimana ia belajar agama dengan tidak melihat
silsilah dan sanad keilmuan gurunya melalui internet. Ia merasa cukup
belajar agama dengan informasi yang diperoleh dari berbagai platform
media internet secara online. Ironisnya, inilah awal dari
perjalanannya menuju jalan hidup yang tidak ia dan keluarganya
inginkan.

Kesalahan terbesar yang ia lakukan adalah ketika Arif mulai bergabung
dengan kelompok-kelompok diskusi online yang menawarkan
pandangan-pandangan radikal. Ia merasa ada persamaan pemikiran dan
pendekatan dalam menjalankan agama, dan pada akhirnya terperangkap
dalam lingkaran yang berbahaya. Pengaruh dari para tokoh ekstremis di
dunia maya membentuk pola pikirnya.

“Saat itu saya mengatakan bahwa saya mau membantu pergerakan terorisme
namun dengan hidup tidak jauh dari keluarga,” ungkapnya saat
berdiskusi dengan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof
Mohammad Mukri di Bandarlampung, Minggu (27/8/2023), dikutip dari NU
Online.

Aksi itu dilakukannya dengan membantu menghubungkan calon pejihad
dengan ISIS. Ia memberikan tempat penampungan bagi mereka yang akan
berangkat ke Aceh atau Afghanistan. Ia menjadi tutor bagi
mereka-mereka yang ingin belajar membuat bom.

Sampai pada akhirnya langkah Arif terhenti di tahun 2014. Ia ditangkap
lantaran turut menyediakan senjata dalam perencanaan operasi
penyerangan di Poso, Sulawesi Tengah. Di tahun yang sama, ia menerima
vonis 4 tahun 10 bulan. Setelah mendapat remisi, akhirnya ia bisa
bebas pada Oktober 2017.

Setelah ditangkap dan menjalani masa hukuman, Arif tersadar dan
berkomitmen untuk memperbaiki diri. Ia kini fokus pada proses
pembelajaran yang benar, belajar agama dengan mendatangi ulama-ulama
yang memiliki keilmuan yang terverifikasi dan memiliki keteladanan
dalam berprilaku baik. Ia pun giat menulis dan melakukan penelitian
melalui narasi kontra radikalisme.

Arif pun sadar dan mengingatkan bagaimana kekuatan internet telah
memainkan peran sentral dalam mengubah arah hidup seseorang. Ia
menjelaskan bagaimana mudahnya akses internet telah membantunya dalam
memperoleh ajaran agama yang tidak benar, membawanya pada jalur
terorisme yang gelap.

“Internet memberi saya kemudahan untuk menemukan orang-orang yang
memiliki pandangan serupa. Saya bisa berinteraksi dengan mereka
melalui media sosial dan berbagi pemahaman,” ungkapnya menyesal.

Menurutnya, internet khususnya media sosial saat ini pun merupakan
salah satu faktor yang memengaruhi kurangnya minat mengaji secara
mendalam pada generasi muda di zaman modern. Ia mengungkapkan begitu
banyak informasi yang mudah diakses di internet, dan ini telah
membentuk budaya ‘malas’ untuk mencari ilmu agama melalui
sumber-sumber resmi seperti kiai atau ulama yang memiliki keilmuan
terverifikasi.

“Kita tidak bisa hanya bergantung pada apa yang muncul di pencarian
google. Ilmu agama harus diperoleh melalui pengajian yang benar, bukan
hanya dengan sekadar taklid buta kepada apa yang ada di internet,”
ungkapnya.

Saat di penjara, Arif merenungkan dan menyadari bahwa seandainya ia
menggunakan metode belajar agama yang benar, maka ia tidak akan pernah
terjerumus ke dalam dunia terorisme. “Saya percaya bahwa jika saya
memiliki pengajaran yang benar, jika saya belajar dari ulama atau kiai
yang memiliki kompetensi dan silsilah keilmuan, saya tidak akan
menjadi teroris,” katanya.

Kisah hidup Arif ini pun menurut Prof Mukri yang juga Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung menjadi cerminan bagi
banyak orang tentang bahaya informasi yang salah dan pergaulan yang
keliru di dunia digital.

“Ini adalah peringatan bagi kita semua bahwa dalam mencari ilmu agama,
kita harus memilih sumber yang benar dan memastikan bahwa kita berada
dalam bimbingan yang tepat,” ungkapnya.

Terlebih di era modern saat ini dengan berbagai penemuan mutakhir
seperti Artificial Intelligent (AI) atau kecerdasan buatan, banjir
informasi di media sosial harus benar-benar disikapi dengan arif dan
bijaksana. Jika percampuran antara teknologi dan ideologi dan
keyakinan tidak melalui panduan-panduan yang benar, maka akan bisa
memunculkan hal yang sangat berbahaya. Perselisihan sampai peperangan
bisa muncul dari aktivitas yang salah di dunia digital.

“Perang paling sadis terjadi muncul karena membela ideologi dan
keyakinan,” ungkapnya.

Oleh karenanya, teknologi jika tidak diimbangi dengan kemampuan
menggunakannya menurutnya akan membawa petaka. Jika dulu yang bisa
menghancurkan manusia adalah, kelaparan, peperangan, dan pandemi, saat
ini Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan di dunia
internet bisa menghancurkan manusia jika tidak disikapi dengan baik.