Jakarta – Aksi intoleransi, radikalisme, dan terorisme merupakan musuh bersama yang harus dihadapi oleh segenap elemen bangsa. Memasuki tahun politik seperti saat ini, aksi-aksi semacam itu dapat mengancam keutuhan bangsa dan negara.
“Kami akan menggelar rembuk nasional yang dihadiri sekitar 50 ribu Aktivis 98 di Monas, Jakarta, pada 7 Juli 2018,” ujar Juru Bicara Rembuk Nasional Aktivis 98, Sayed Junaidi Rizaldi bin Abdul Rahman Al-Hinduan dalam siaran persnya di Jakarta, Minggu, (3/6/2018) dikutip Antaranews.com.
Dikatakan, puluhan ribu aktivis 98 sepakat akan kembali turun gunung setelah sekitar 20 tahun lalu menggulingkan Soeharto dan orde baru (Orba). Berbeda dengan perjuangan sebelumnya, saat ini aktivis 98 mengingatkan adanya kelompok yang sudah menjadi musuh bersama yang ingin mengganti ideologi Pancasila termasuk mendirikan khilafah.
Upaya-upaya tersebut dilakukan kelompok tertentu di antaranya melalui menyebarkan pemikiran intoleransi, radikalisme, hingga terorisme. Pemikiran-pemikiran tersebut harus dilawan bersama-sama dengan menyatukan barisan.
“Kami secara bersama memandang tidak boleh diam, aktivis 98 harus meluruskan dan melawan radikalisme, intoleransi, dan terorisme yang terus mengikis orientasi kebangsaan rakyat Indonesia,” ujarnya.
Ancaman kelompok-kelompok tersebut bukanlah sekadar wacana. Namun, sudah menjadi kenyataan dengan adanya fenomena keluarga pengebom teror bom beberapa waktu lalu di Surabaya, Jawa Timur. Selain itu, banyaknya terduga terorisme yang ditangkap pasca rentetan aksi teroris di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat (Jabar) hingga meluas ke beberapa daerah lainnya.
Hal ini juga kian diperparah dengan sikap ambigunya para elit politik dalam merespon soal ancaman tersebut. Padahal, selain aksi-aksi teror itu, survei Wahid Institute tentang Radikalisme dan Intoleransi yang melibatkan 1.520 responden pada 2017, menunjukan data yang membuat para aktivis miris.
Berdasarkan survei tersebut ada sebanyak 11 juta orang atau 7,7% dari total populasi di Indonesia mau bertindak radikal. Dari survei tersebut juga diketahui 0,4% penduduk Indonesia atau sekitar 600 ribu orang pernah bertindak radikal.
Aktivis 98 memutuskan untuk melakukan Rembuk Nasional di Monas atas dua alasan yakni soal ideologi dan kondisi nasional. Terkait ideologi, bahwa intoleransi, radikalisme, dan terorisme telah mengancam Pancasila dan merusak nilai-nilai kemanusiaan.
Para aktivis 98 menilai, sikap ambigu elit politik juga akan membuat ujaran kebencian meluas dan mereka yang terpapar ini akan mudah berpotensi melakukan radikalisme. Akibatnya, sangat mudah menyebarkan fitnah, salah satunya menuduh aparat keamanan merekayasa teror dan mengatakan pelaku teror sebagai korban.