Jakarta – Kepala BNPT Komjen Pol Drs. Suhardi Alius, MH menjadi pembicara dalam acara Sarasehan Nasional Empat Pilar MPR RI dan Kesadaran Bela Negara yang digelar di Gedung Nusantara V, MPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/9/2016). Sarasehan tersebut digelar dalam rangka menyambut dan memperingati HUT MPR-RI ke-71.
Dalam paparannya yang bertema “Meningkatkan Kewaspadaan Guna Mengantisipasi Radikalisme dan Terorisme”, Kepala BNPT meyakini jaringan teroris di Indonesia masih ada dan terus berkembang. Untuk itu, masyarakat wajib mewaspadai keberadaan teroris serta gerak-geriknya.
“Teroris ini sekarang beraksi dalam kelompok kecil. Masyarakat harus terus waspada. Apalagi saat ini menjadikan seseorang sebagai pelaku teror tidak perlu lagi harus pergi untuk mengenyam pendidikan di Afghanistan atau di tempat lainnya seperti yang dilakukan kelompok teror yang dulu,” ujar Kepala BNPT dalam paparannya.
Pria yang pernah menjabat sebagai Kabareskrim Mabes Polri dan Kapolda Jawa Barat ini mengatakan bahwa dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat, saat ini generasi teroris baru cukup diasah yang intensif melalui media sosial dengan memanfaatkan internet.
“Apalagi sekarang ini kalau mau membaiat seseorang cukup melalui chatting saja. Seperti yang terjadi di Medan kemarin. Pelaku cukup dicuci otaknya melalui dunia maya, tidak perlu harus datang ke yang membaiat,” katanya
Selain menjelaskan tentang bagaimana proses radikalisme muncul dan bagaimana pola rekruitmen anggotanya, terkait dengan Kesadaran Bela Negara di Indonesia, Kepala BNPT meminta kepada semua pihak harus berperan aktif mempertahankan nilai-nilai luhur ke-Indonesiaan, maupun ancaman terhadap negara yang bersifat nyata untuk mencegah paham radikal tersebut.
Apalagi menurutnya di era globalisasi dan teknologi informasi yang sudah begitu canggih dan tidak ada lagi batas, semua informasi bisa masuk dari segala penjuru.
“Perubahan ini sungguh luar biasa baik ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya sudah tidak ada batasnya lagi,” kata mantan Kadiv Humas Polri ini.
Saat dirinya masih menjabat Sekertaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Sestama Lemhanas), dirinya mengetahui bagaimana pemetaan kondisi perubahan sosial yang ada di seluruh dunia termasuk di Indonesia sendiri.
“Katanya bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah tamah, penuh senyum, gotong royong, menghargai orang tua dan sebagainya yang bersifat santun. Pertanyaan saya apakah masih ada budaya seperti di negara kita? Sekarang ini sudah berubah sosial budaya yang dimiliki bangsa kita ini,” ujarnya.
Menurutnya, sebagian besar anak muda Indonesia sekarang sudah melupakan sejarah bangsanya. Bahkan sudah banyak anak muda atau pelajar di negeri ini yang sudah tidak hafal lagi nama pahlawannya.
“Bahkan adat istiadat di daerahnya mereka juga sudah banyak yang tidak tahu. Ini kan masalah kebangsaan dan ini yang harus kita waspadai di tengah era globalisasi ini. Karena kalau kita tidak menjaganya lama-lama nasionalisme kita akan luntur,” ujar Alumni Akpol 1985 ini.
Bela Negara sendiri menurutnya sudah menjadi komitmen pemuda Indonesia sejak Sumpah Pemuda dideklarasikan pada tahun 1928, bahwa 17 tahun sebelum Indonesia merdeka para anak muda bangsa dari berbagai pulau yang ada di Indonesia dengan berbagai etnis budaya dan agama ini sudah berani mempresentasikan dengan nama young Java, young Sumatera, dan sebagainya.
“Berani dia berikrar dengan mengucapkan Bertumpah Darah yang Satu, Tanah Indonesia, Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia dan Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia. Artinya kemajemukan pada saat itu adalah nilai universal yang diakui di negeri ini dan 17 tahun kemudian pada tahun 1945 baru bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya,” ujarnya.
Oleh karena itu menurut mantan Kapolres Metro Jakarta Barat dan Depok ini, tinggal sekarang bagaimana eksistensi itu menjadi tantangan untuk dipertahankan dan dilestarikan di tengah era globalisasi yang saat ini terus berkembang.Sehingga generasi muda kita mampu merawat bangsa ini dengan kemajemukannya
“Karena di tengah reduksi nasionalisme bangsa itu yang terjadi saat ini adalah masuknya paham-paham yang bermacam-macam, termasuk paham radikal. Ini yang tidak boleh terjadi. Perubahan perubahan nilai sosial ini jangan sampai dibawa menjadi tidak baik,” ujarnya.
Dirinya menjelaskan bahwa 4 pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika itu sangat penting karena itu pondasi bangsa ini yang dapat menyatukan bangsa Indonesia ini. Karena 4 pilar itu adalah komietmen bangsa Indonesia yang harus dijaga
“Kalau misalnya salah satu dari 4 pilar itu misalnya NKRI itu lepas lalu kemana yang namanya dari Sabang sampai Merauke itu? Indonesia yang punya sebanyak 17.504 pulau itu kemana? Keberagaman budaya itu kemana?,” katanya bertanya.
Sekarang ini saja menurutnya, generasi muda bangsa yang mempertahankan adat istiadatnya saja bisa dihitung. “Yang masih bisa menjaga adat istiadat itu kebanyakan di daerah wisata karena itu merupakan bagian suguhan kepada wisatawan. Yang lainnya sudah banyak yang hilang,” ujarnya.
Kembali kepada bidang tugasnya sebagai Kepala BNPT, dirinya meminta seluruh komponen bangsa berusaha untuk menjaga agar sel-sel radikalisme itu jangan bergerak terus untuk mempengaruhi dan mencuci otak anak-anak kita dengan paham-paham yang radikal
“Karena kalau tidak dijaga bisa dapat merusak 4 pilar itu tadi. Itu dia yang dimaksud dengan korelasi bela negara yang penting ini. Artinya ada kemampuan dari kita untuk memfilter semua nilai-nilai itu. Yang baik kita ambil, yang buruk kita tinggalkan,” ujarnya mengakhiri.
Turut hadir dan menjadi pembicara di sarasehan yang dibuka Ketua MPR-RI DR (HC) Zulkifli Hasan tersebut diantaranya yakni Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Drs. Budi Waseso, Wakil Ketua bidang Internal Komnas HAM DR. Ansori Sinungan,SH, MH, pengamat intelijen dan terorisme DR. Wawan Hadi Purwanto, SH, MH, Rektor Universitas Pertahanan Letjen TNI I. Wayan Midhio dan Koorsahli Kapolri Irjen Pol Burhanuddin Andi yang mewakili Kapolri.