Jakarta – Pemerintah melalui Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Davao, Filipina, Kamis (15/10/2020), telah mengirimkan dua surat kepada otoritas Filipina mengenai permintaan data dan akses kekonsuleran untuk bertemu dengan RFR, yang diduga perempuan warga negara Indonesia (WNI) dan telah ditetapkan tersangka aksi terorisme di negara itu.
Permintaan itu terkait dengan pernyataan otoritas Filipina, Rabu (14/10/2020), bahwa perempuan Indonesia yang menjadi tersangka pengebom bunuh diri akan menjadi kasus percobaan untuk persidangan pertama dengan hukum anti-teror Filipina yang baru, disebut Anti-Terror Law (ATL).
“Ini adalah kasus utama pertama, saya pikir, dimana orang-orang tertentu yang dicurigai sebagai teroris asing dituduh melanggar UU anti teroris yang baru,” kata Menteri Kehakiman Menardo Guevarra, kepada Arab News, Rabu (14/10/2020).
Terkait hal itu, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan KJRI Davao masih menunggu pemberian data dan akses kekonsuleran tersebut.
“Data dan akses bertemu RFR sangat diperlukan untuk memverifikasi identitas dan kewarganegaraan, mengingat yang bersangkutan tidak mengaku sebagai seorang WNI ketika menjalani proses interogasi oleh aparat Filipina,” kata Judha, Kamis, menanggapi pernyataan dari otoritas Filipina.
Otoritas Filipina mengatakan tersangka pengebom bunuh diri dari Indonesia ditangkap dalam operasi militer dan polisi gabungan di Sulu, empat hari lalu artinya Sabtu (10/10/2020). Guevarra mengatakan Dewan Anti-Terorisme telah setuju untuk penerapan aturan dan regulasi (implementing rules and regulations/IRR) atas UU Anti-Terorisme 2020 (Anti-Terrorism Act/ATA) yang kontroversial, dimana sudah ditandatangani oleh Presiden Rodrigo Duterte pada Juli.
“Jaksa Provinsi Sulu telah diberitahu bahwa IRR dan ATL telah disetujui oleh Dewan Anti-Terorisme hari ini,” ujar Guevarra.
Arab News melansir bahwa perempuan WNI tersebut bernama Nana Isirani, yang juga dikenal sebagai Rezky Fantasya Rullie atau “Cici”, telah ditangkap di satu rumah di Jolo, Sulu. Pasukan pemerintah menemukan rompi bom bunuh diri dan komponen bom.
Sebelumnya, militer menyebut Rullie, yang sedang hamil, secara sukarela melakukan serangan bunuh diri setelah melahirkan untuk membalas dendam atas kematian suaminya, Andi Baso, yaitu militan Indonesia yang dilaporkan tewas dalam bentrokan dengan pasukan pemerintah pada 29 Agustus di kota Patikul, Sulu.
Rullie ditangkap dengan dua perempuan lainnya, yang diyakini adalah para istri dari anggota kelompok Abu Sayyaf atau Abu Sayyaf Group (ASG). Menurut Guevarra, penangkapan Rullie bisa menjadi kasus uji coba yang baik untuk ATL, khususnya ketentuan syarat hukuman pelanggaran inchoate (hasutan atau konspirasi).
Senator Filipina yang merupakan mantan Kepala Nasional Kepolisian, Panfilo Lacson, mengatakan bom dan barang-barang lain yang disita dari Rullie mengindikasikan bahwa perempuan itu sedang menyiapkan serangan teroris.
“Ini adalah satu contoh dari pelanggaran inchoate yang dapat dihukum di bawah hukum anti-terorisme baru. Dengan memasukkan pelanggaran inchoate, kita mempidanakan tindakan para tersangka yang ditangkap meliputi perencanaan, persiapan, dan memfasilitasi terorisme,” ujar Lacson.