Tulisan ini bermula dari perbincangan saya dengan seorang laki-laki yang berasal dari “keluarga teroris”. Ungkapan ini tentu tidak berlebihan, bagaimana tidak, ayah, kakak dan adik kandungnya adalah pelaku teror kelas kakap semua. Mereka bahkan bukan orang sembarangan di jaringan kelompok teroris paling berbahaya di Indonesia dan bahkan mungkin di Asia, Jamaah Islamiyah (JI).
Ayahnya, sebut saja Pak Halim, telah lama ‘menyandang gelar’ sebagai teroris yang paling ditakuti di seantero negeri. Ia telah aktif sejak masa NII (Negara Islam Indonesia) dan diklaim terlibat dalam kasus penyerangan terhadap presiden Soekarno di Jalan Cikini 76, Jakarta Pusat. Menurutnya, si ayah sebenarnya tidak terlibat, karena yang ‘punya gawe’ saat itu adalah kakaknya, si Umam (sebut saja begitu).
Meski demikian nama bapaknya tetap ramai di sebut, sekali lagi karena ia bukan orang sembarangan dalam jaringan kelompok teroris. Bapaknya telah memainkan berbagai peranan penting baik dalam penyebaran paham, gagasan, maupun tindakan makar terhadap pemerintah melalui jalur terorisme. Paham keagamaannya yang kaku memberi pengaruh besar terhadap pola pandang anak-anaknya, yang dikemudian hari tumbuh menjadi orang-orang yang melanjutkan estafet terorisme sebagaimana diwariskan oleh ayahnya.
Apa yang ditakutkan ini benar-benar terjadi, kakaknya akhirnya terjerat dalam jaringan terorisme. Hal ini telah menyeretnya untuk melakukan berbagai kegiatan terorisme di negeri ini. kakaknya tidak lagi mengaplikasikan ajaran agama yang damai dan konstruktif; ia terjebak dalam pemikiran sempit nan picik. Si Umam pun akhirnya ditangkap oleh polisi yang kemudian mengganjarnya dengan puluhan tahun hukuman penjara.
Tidak berhenti di situ, adiknya yang kecil rupanya juga terlibat dalam jaringan terorisme. Namanya bahkan sempat santer disebut sebagai bagian dari kelompok JI, khusunya yang terkait dengan sepak terjang Noordin M Top. Meski kecewa, namun ia mengaku tidak kaget dengan hal ini. sejak kecil ia dan saudara-saudaranya sudah terbiasa mengenal agama dari jalur yang berbeda; yang keras dan cenderung beringas.
Namun cap sebagai keluarga teroris tentu sangat mengganggu dirinya. Ia memang tidak bisa menghapus sejarah kelam keluarganya, namun ia hanya ingin masyarakat tahu bahwa segala hal bisa berubah. Termasuk keluarganya.
Ia mengaku negara telah merubah semuanya, melalui perantara BNPT dan Densus 88 ia mengaku keluarganya telah kembali ke jalan yang benar. Keluarga itu kini semakin mengerti bahwa jihad tidak boleh dilakukan dengan cara dan tujuan jahat.
Kini, ia menatap hari baru dengan menyibukkan diri di restoran yang ia kelola, berusaha memperbaiki diri sambil tetap berusaha menjaga kondisi ekonomi keluarga. Sementara adiknya telah kembali mendapat kepercayaan dari masyarakat, dimana ia dipercaya untuk menjadi ketua RT.
Pemahaman agama yang salah memang berpotensi besar membuat orang menjadi susah. Ia menyadari bahwa keluarganya dulu pernah terpisah karena pemahaman yang keliru terkait jihad. Kini ia mengaku semakin mengerti bahwa jihad untuk keluarga jauh lebih penting nilainya, “Anak saya harus saya sekolahkan, dia harus jadi orang pintar, orang yang agamis,” katanya.
Dengan tegas ia nyatakan sama sekali tidak bangga dengan masa lalu yang ia miliki. Ia percaya bahwa kekerasan harus dihentikan.
Obrolan saya dengan mantan teroris di atas harus dipahami sebagai sebuah pengakuan tulus. Kita semua percaya bahwa jika tuhan sudah berkehendak, sejahat apapun anak manusia, pasti akan kembali ke fitrah-nya jua; menjadi orang yang berguna. Adalah tugas kita bersama untuk membuktikan melalui pikiran dan tindakan bahwa agama memang tempatnya kedamaian. Tidak ada sejengkalpun ruang untuk kekerasan dalam ajaran Tuhan…
Semoga bermanfaat.