Setidaknya ada 2 (dua) kelompok bangsa Indonesia yang tercermin dari respon terhadap aksi terorisme pasca serangan di Thamrin beberapa waktu lalu. Pertama, kelompok yang marah dan menganggap serangan tersebut sebagai sesuatu yang sangat serius dan perlu ditangani secara cepat dan tanggap oleh aparat keamanan. Kedua, kelompok yang tetap menganggap serangan ini sebagai sesuatu yang serius namun menyikapinya dengan cara yang tidak lazim, yakni dengan menjadikannya sebagai bahan candaan. Hal ini dapat dilihat baik dari respon mereka di media sosial dengan gambar-gambar meme terhadap para teroris maupun melalui pesan-pesan singkat yang berisi cerita lucu terhadap aksi teroris tersebut.
Namun, ada kesamaan di antara keduanya yang tampak cukup jelas, yakni fakta bahwa bangsa Indonesia sudah terbina sejak kecil dalam mencintai bangsanya melalui sikap nasionalisme kuat, yang bagaimanapun caranya dalam menyikapi, menunjukkan kesetiaan dan kecintaan terhadap NKRI. Tujuan aksi terorisme secara taktis adalah untuk mencari publisitas agar akibat–akibat dari serangan mereka dapat diketahui secara luas, untuk membuat situasi politik menjadi tidak stabil, dan untuk menghancurkan tatanan ekonomi suatu masyarakat (Schelling, 1991). Namun teror di Thamrin terlihat secara jelas gagal mendapat tempat seperti yang diharapkan.
Publisitas yang diinginkan para teroris justru berbalik menjadi kekuatan yang semakin menunjukkan bahwa aksi mereka benar–benar gagal dari segala sisi. Publisitas yang muncul malah menyerang mereka, yakni tentang kesigapan aparat keamanan melalui aksi–aksi heroik dan cenderung nekat mengorbankan nyawanya. Hal ini tentu menjadi konsumsi yang sangat baik dalam menumbuhkan nasionalisme bagi setiap warga. Dengan gagalnya tujuan taktis pertama tersebut, tujuan taktis lain yang disebutkan di atas sama sekali tidak tercapai, bahkan tidak tersentuh.
Semua agama yang diakui di Indonesia adalah agama yang menghargai kedamaian dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Namun di sisi lain, ada sekelompok orang yang menganggap kedamaian hanyalah merupakan suatu khayalan, yang mengakibatkan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sangat rendah, yang muncul dari kekeliruan pemahaman terhadap ajaran–ajaran agama tertentu yang sensitif, misalnya konsep Jihad dan Perang dalam arti agresi adalah konsep yang satu. Hal berikut yang muncul adalah ajaran kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Fenomena radikalisme ajaran tersebut sebenarnya dapat ditangkal, bahkan dilawan dengan tanpa harus bersusah payah membina kembali pemikiran masyarakat tentang pemahaman keagamaan. Perkembangan teknologi informasi dengan kecepatan penyebaran beritanya yang luar biasa tanpa disadari telah menjadi pemersatu masyarakat dalam memerangi terorisme. Karenanya informasi harus diolah sedemikian rupa dengan tujuan membangkitkan perlawanan terhadap aksi terorisme. Satu hal yang pasti, menangkal dan melawan aksi teror memerlukan satu pandangan yang sama, yakni setiap individu yang bekerja dalam melawan aksi teror adalah individu yang mengerti arti kebersamaan, memahami pentingnya persatuan, dan memiliki sifat yang tidak pernah membedakan siapapun.
Pada akhirnya, aksi terorisme akan selalu gagal, dapat dilawan, diredam, dan bahkan ditangkal apabila masyarakat mengerti dan memahami bahwa kedamaian adalah sesuatu hal yang ada dan bisa dicapai. Kesadaran itu dapat ditumbuhkan bukan hanya lewat pemahaman ajaran agama tanpa kekerasan, namun juga lewat kebersamaan yang menyeluruh. Dalam menghadapi aksi teror, masyarakat Indonesia sebenarnya adalah masyarakat yang sadar, waspada, dan tidak takut. Arus informasi yang ada menjadi media pemersatu, yang memberikan motivasi bahwa kita adalah bangsa yang mampu melawan terorisme.