Palembang – Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM RI Putu Elvina,
S.Psi., M.M., menegaskan bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi
yang tidak boleh dibatasi oleh siapa pun. Untuk itu Ia menyoroti
pentingnya peran institusi pendidikan dalam menyuarakan nilai-nilai
kemanusiaan.
“Yang luar biasa dari Palembang adalah sejarahnya. Sriwijaya sudah
menjadi pusat peradaban Buddha, tapi justru mereka yang mengundang
dakwah Islam datang. Ini pelajaran luar biasa bagi dunia,” ujar Putu
Elvina bertajuk Pengenalan Kelembagaan Komnas HAM RI di Universitas
Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang di Kampus B Jakabaring,
Palembang, Rabu (18/6/2025).
Ia juga menekankan bahwa kebebasan beragama dijamin dalam berbagai
instrumen hukum, baik internasional maupun nasional—termasuk dalam
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang tentang HAM, serta
peraturan-peraturan turunan lainnya.
Kegiatan ini menjadi bukti kolaborasi nyata antara dunia akademik dan
lembaga negara dalam memperkuat kesadaran kolektif terhadap pentingnya
toleransi, kebhinekaan, dan perlindungan terhadap kebebasan beragama
dalam masyarakat yang majemuk.
Kegiatan ini bertujuan memperkuat pemahaman mahasiswa tentang hak
asasi manusia, khususnya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Acara
ini dihadiri langsung oleh Rektor UIN Raden Fatah Palembang, Prof. Dr.
Muhammad Adil, M.A., jajaran pimpinan kampus, serta para mahasiswa
dari berbagai fakultas.
Dalam sambutannya, Prof. Adil mengangkat kembali akar sejarah panjang
toleransi di Palembang. Ia mengingatkan bahwa semangat hidup
berdampingan sudah tumbuh sejak era Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7,
sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang dikenal terbuka terhadap kehadiran
agama-agama lain.
“DNA masyarakat Palembang memang sudah terbentuk dari interaksi
harmonis antaragama. Sejak era Sriwijaya, masyarakat di sini terbiasa
hidup berdampingan tanpa saling meniadakan budaya satu sama lain,”
ujarnya.
Ia juga mencontohkan bagaimana Kerajaan Sriwijaya dahulu pernah
mengirim surat kepada Khalifah Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz dari
Dinasti Umayyah, meminta agar pendakwah Islam datang ke Nusantara.
Proses masuknya Islam pun berlangsung damai—tanpa penghancuran
situs-situs lama. Salah satunya terlihat di Kompleks Pemakaman Ki Geng
Ing Suro, yang tetap mempertahankan struktur candi sebagai warisan
masa lalu.
Contoh lainnya adalah keberadaan gereja tertua di Tanjung Sakti,
Lahat, yang tetap terjaga meski berada di tengah komunitas Muslim.
Menurut Adil, ini mencerminkan watak inklusif masyarakat Sumatera
Selatan sejak dahulu kala.
Dalam konteks kekinian, UIN Raden Fatah berkomitmen menjaga
nilai-nilai toleransi tersebut melalui sejumlah langkah konkret,
seperti:
– Menyediakan musala di setiap gedung untuk menghormati keragaman
latar belakang mahasiswa;
– Membuka akses bagi mahasiswa asing dari 11 negara, termasuk Sudan,
Palestina, dan Korea;
– Menjalankan berbagai program pencegahan diskriminasi di lingkungan kampus.
“Kami ingin kampus ini menjadi contoh kampus Islam yang inklusif,
menjadikan keberagaman bukan sebagai ancaman, tetapi kekuatan,” kata
Prof. Adil.