Bandung – Pencegahan paham radikalisme dan terorisme harus melibatkan kearifan lokal berupa hukum-hukum lokal. Tanpa itu, pencegahan itu tidak akan maksimal.
“Kearifan lokal itu berupa hukum-hukum lokal yang sangat banyak di Indonesia akan menjadikan pencegahan terorisme di Indonesia akan lebih mengena. Selama ini kita terlalu mengedepankan hukum nasional dan internasional, dan melupakan kearifan lokal tersebut,” kata Prof. Dr. Bambang Widodo Umar, Msi, Guru Besar Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia saat menjadi narasumber Dialog Pencegahan Paham Radikal Terorisme & ISIS di Kalangan Guru & Pelajar se-Jawa Barat di Gedung Sabuga, ITB, Bandung, Selasa (8/3/2016).
Kearifan lokal itu menurut Prof Bambang adalah budaya lokal dan peraturan adat yang banyak tersebar di berbagai daerah di Indonesia seperti hukum aceh, hukum sunda, hukum dayak, hukum jawa, hukum Bali, hukum Papua, dan lain-lain. Padahal kearifan lokal itu adalah bagian dari ideologi Pancasila.
“Faktanya saat ini Pancasila kalah dibandingkan semangat bangsa Indonesia dalam menyikapi modernisasi sekarang. Ironisnya modernisasi itu hanya diartikan dari sisi fisiknya saja seperti gedung tinggi, jalan bagus, mobil canggih, dan lain-lain. Sementara kita belum mampu membangun modernisasi dalam diri kita sendiri,” terang Prof. Bambang.
Ia menambahkan pendidikan bangsa ini tidak hanya untuk membangun materiil. Sejauh ini pendidikan bangsa ini sudah melampaui batas sehingga hanya melahirkan mimpi yang tidak menjadi kenyataan. Ironisnya, modernisasi yang ada sekarang belum bisa dinikmati maksimal oleh bangsa Indonesia, karena banyak campur tangan asing.
“Apa penyebabnya? Karena didalam kehidupan bernegara kita, karakter dan budaya kita lemah. Kita ngomong budaya pancasila, tapi implementasinya tidak dijalankan. Buktinya ada banyak hal-hal negatif yang terjadi di masyarakat kita,” ungkapnya.
Intinya, tukas Prof. Bambang, budaya lokal harus dilibatkan dalam pencegahan terorisme. Pasalnya, masyarakat Indonesia itu adalah masyarakat komunal, bukan masyarakat individu seperti di barat. Selain itu, nilai-nilai lokal itu juga harus dipelihara dan tidak hanya dijadikan slogan atau ditempel di papan pengumuman.
“Itu harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja harus ada manajemen yang menggambarkan bagaimana nilai dasar Pancasila dalam memperkuat nasionalisme bangsa ini. Intinya, Pancasila adalah orientasi kehidupan yang bersifat komunal atau umum. Jadi kalau ada perilaku yang bersifat individu itu tidak sesuai dengan Pancasila dan jangan diadopsi. Ini tidak boleh dilakukan secara sepotong-sepotong, karena maskin derasnya perkembangan berbagai pengaruh ideologi dari luar sana,” papar Prof Bambang.
Ia menegaskan, penguatan ideologi Pancasila serta pemahaman agama ini mutlak harus dilakukan karena suka atau tidak saat ini Bangsa Indonesia sudah dirasuki paham dari luar negeri. Itu artinya ketahanan nasional Indonesia tengah menghadapi ancaman besar.