Bicara tentang terorisme adalah bicara tentang ketakutan yang diciptakan oleh orang atau kelompok orang, yang bernaung dalam organisasi dan panji panji perjuangan dan ideologi tertentu. Perjuangan dan ideologi tersebut bisa dalam bentuk agama, kelompok anti etnik, bisa kelompok pencinta lingkungan, bahkan politik. Korbannya tentu sangat mungkin terpilih maupun acak. Tempat dan objek penyerangan bisa perorangan, tempat umum, tempat pusat perbelanjaan, rumah sakit, pos polisi, bahkan tempat ibadah.
Terorisme tidak seperti kejahatan biasa. Semua kejahatan bisa menimbulkan kerusakan, tetapi terorisme tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik tetapi juga mental dan ideologi. Rasa luka, panik, takut, dan ancaman hanya produk dari panggung aksi yang dipentaskan. Sejatinya, tujuan politik dengan dimensi motif yang beragam itulah yang akan menjadi serangkan keyakinan ideologis yang lebih menakutkan. Selain itu, sebagai kejatan luar biasa (extra ordinary crime), terorisme telah menjadi momok menakutkan negara-negara karena sifatnya yang lintas batas negara.
Pada tahun 2017, berbagai kejadian terus melanda berbagai negara termasuk Indonesia. Pelakunya bisa dari kelompok dan jaringan tertentu dan ada pula dengan pola baru perseorangan yang dikenal serigala tunggal (lone wolf). Target serangannya pun beragam dari aparat, fasilitas publik, dan masyarakat umum. Dalam catatan terorisme secara global, pada tahun ini banyak bentuk teror yang digunakan oleh kelompok terorisme semisal penembakan, penyanderaan, peledakan bom, bom bunuh diri hingga penabrakan truk dan mobil yang semakin menjadi trend baru sebagai metode teror.
Lalu, bagaimana dengan potensi ancaman terorisme pada tahun 2018? Tentu banyak hal yang perlu dipotret dalam melihat potensi ke depan. Namun, secara umum eskalasi terorisme sangat dipengaruhi oleh kuatnya jaringan terorisme di berbagai wilayah. Karena itulah, saya ingin melihat peta jaringan ini sebagai landasan untuk memprediksi potensi ancaman terorisme ke depan.
Terorisme Pasca Osama bin Ladeen dan Eksistensi Daesh
Membahas jaringan teroris saat ini adalah membicarakan paling sedikit sepuluh organisasi teroris yang pernah eksis dan bahkan masih eksis sampai hari ini. Sebut saja; al Qaedah Magribi (AQIM), Al Qaedah, Al Qaedah Arab Peninsula (AQAP), Taliban, Taliban Pakistan, Al Nusra Front, Boko Haram, Jamaah Islamiyah, Abu Sayyaf dan Lashar e Tayibah. Setelah Osama bin Ladeen tewas, kelompok Al Qaedah yang semula hanya AQAP, al Shahab di Somalia, Al Qaedah Iraq dan AQIM lebih dominan tampil, sehingga ada berbagai klaim tentang bergabungnya sel jaringan terorisme kepada Al Qaedah.
Sebut saja AQIM, Jabhat al Nusra, kelompok radikal mesir dan Semenanjung sinai, Jund al Khilafah, IMU/Iju, LET, TTP se Asia Selatan, Boko Haram di Nigeria, Sahel di Marutania Mali dan Nigeria. Sementara sejak berdirinya ISIS terjadi pengembangan jaringan ISIS di Lybia, Mesir, Saudi Arabia, Yaman, Al Jazair, Afganistan, Pakistan dan Caucaaus utara.
Gerakan kelompok radikal sekalipun bergerak secara Cleindestein dan lebih cenderung lokal- domestik, tetapi gerakan tersebut tetap saja berdampak regional dan global. Misalnya al Shahab Somalia yang begitu berani pada Juni 2017 menyerang markas militer dan membunuh 70 orang. Padahal sebelumnya pada April 2015, kelompok ini sukses menyerang kampus Grasisa yang menewaskan 147 orang. Begitu pula Boko Haram selama 9 tahun saja kelompok Takfiry ini mampu menewaskan 10.000 orang yang tidak berdosa. Pun sama di Indonesia di mana kekejian teroris bahkan tercatat pernah menyerang Masjid, rumah Allah, tempat yang disucikan oleh umat muslim.
Sebagai bagian dari komunitas dunia yang menerima dampak paling buruk akibat terorisme, selayaknya Indonesia melakukan kalkulasi ulang terhadap kegiatan teror tahun lalu 2017. Kegiatan penanggulangan terorisme dengan pendekatan keras dan pendekatan lunak sudah dilakukan secara paralel, berkesinambungan dan masif. Jaringan terorisme lintas generasi secara domestik dan homegrown telah pula diidentifikasi dan dipetakan. Layak untuk kita perhitungkan bahwa kejadian di Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari suatu pergerakan radikal terorisme baik regional maupun global dengan mengusung berbagai isu ketertindasan dan marginalisasi agama, sosial dan ekonomi.
Dalam catatan penulis, setidaknya pada tahun 2017 bulan-bulan yang kritis dari serangan teroris tertinggi berada pada Mei sampai september 2017. Tertinggi pada bulan Juli dengan 191 kasus, Agustus sebanyak 177 kasus, September dengan 107 kasus. Trend penurunan terjadi justru pada akhir tahun. Di mana pada Bulan oktober hanya 43 kasus, November sebanyak 39 kasus dan sampai Natal 2017 hanya terjadi 31 kasus.
Sedangkan dari aspek korban justru terbalik. Korban yang mengalami luka-luka tertinggi terjadi pada bulan Mei sebanyak 1803 orang dan Juni sebanyak 1402 orang. Angka kematian tertinggi akibat terorisme terjadi pada bulan November 1179, Mei 1001 orang dan Januari 855 orang. Hal ini sangat berbeda pada saat Osama bin Laden masih hidup di mana angka korban kematian jauh lebih tinggi dibanding angka luka-luka. Untuk wilayah atau kawasan dunia yang mengalami serangan terbanyak adalah Timur Tengah, Afrika, Asia Tengah, Asia Tenggara dan yang paling sedikit mengalami teror adalah Amerika Utara.
Dengan berbagai kekalahan yang dialami oleh kelompok teroris khususnya ISIS,di Iraq, Suriah, di calon Walayat Poso, Walayat Filipina, Marawi dan dengan semakin terkuaknya berbagai jaringan mereka di berbagai negara serta dengan tertangkapnya dan terendusnya jaringan terorisme yang menyeberang dari Magribi ke berbagai negara Eropa, penulis mencoba menuangkan beberapa kemungkinan serangan terorisme global, regional dan domestik dengan beberapa prediksi di antaranya:
Pertama; kemungkinan lahirnya sentimen baru akibat isu pemindahan ibu kota Israel terhadap Amerika dan sekutunya di berbagai belahan dunia. Hal ini pula kiranya yang akan membangunkan sleeping cell di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Kedua; Al Qaedah di seluruh dunia yang sekarang lebih banyak tiarap akan mulai bergerak dan bangkit. Ketiga; kekalahan ISIS akan menjadi persoalan tersendiri manakala para kombatan sudah kembali secara clandestein ke negaranya sendiri. Keempat; radikalis Suku Uigur di China yang telah menyebar di seluruh negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang bergabung dengan sel-sel aktif akan mempunyai dampak signifikan apabila tidak segera ditanggulangi. Kelima; sistem kerjasama antar negara kawasan apabila tidak ditindak lanjuti secara masif dengan MoU, sharing pengalaman dan best practises akan menjadi persoalan keamanan bersama di kawasan seperti halnya Indonesia dengan Myanmar, dengan Filipina, dengan malaysia dan negara lainnya. Keenam, penyebaran propaganda dan paham radikal terorisme di dunia maya masih menjadi trend sampai hari ini. Fenomena ini patut diperhatikan karena tidak sedikit orang yang terpapar secara mandiri melalui radikalisasi di dunia maya.
Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut, untuk Indonesia ada beberapa pemikiran antisipatif ke depan yang layak diperhitungkan. Pertama, selama ini program dengan pendekatan lunak melalui deradikalisasi dan kontra radukalisasi sudah dilakukan. Hasilnya harus jujur diakui ratusan eks narapidana terorisme yang pernah tersesat dalam ideologi radikalisme kembali ke ideologi negara, Pancasila. Meskipun demikian, tokoh-tokoh senior Al Qaedah Indonesia dari al Jamaah al Islamiyah (JI), semisal eks amir darurat Al jamaah Al Islamiyah, eks Panglima Askari JI, tokoh-tokoh NII, Laskar Jundullah dan lain-lain sekalipun mereka sudah bebas masih kurang mendapat sentuhan. Hal ini dipahami karena mereka ada sebagian yang tidak mau diliput media, tapi negara tidak boleh berhenti dan hanya fokus pada level menengah ke bawah.
Kedua, banyak WNI yang terlibat radikalisme teroris yang berada dalam penjara di luar seperti Brunei, Malaysia, Filipina dan Eropa hendaknya dijadikan target pendekatan lunak Indonesia dengan lebih intens. Karena itulah, butuh kerjasama antar negara yang kuat ke depan khususnya dalam bidang program deradikalisasi. Pendekatan deradikalisasi Indonesia yang sukses harus bisa menyentuh WNI lain yang ada di luar negeri.
Ketiga, keberadaan eks narapidana terorisme lintas generasi hendaknya terus dimonitor dan didampingi sehingga program pendekatan lunak bisa dijalankan misalnya keberadaan J Rose eks kepala Mantiqi IV. Parlindungan siregar.
Keempat, perlu penanganan terpadu lintas sektoral terkait fenomena kembalinya kombatan dari Irak dan Suriah. Persoalan ini memang dihadapi oleh semua negara, karenanya di samping penguatan internal kelembagaan, juga perlu penguatan kerjasama antar negara dalam mengantisipasi gelombang kembalinya kombatan tersebut.
Kelima, program kontra radikalisasi dengan pelibatan seluruh unsur masyarakat sangat penting untuk ditingkatkan dalam rangka membendung penyebaran paham, doktrin dan ideologi terorisme di tengah masyarakat. Terlebih dalam penyebaran di dunia maya. Kerjasama lintas kementerian sangat diperlukan dengan merangkul masyarakat khususnya tokoh dan organisasi keagamaan.