ISIS Menjadi Pelarian Orang-orang Depresi

Paris – Kelompok radikal teroris yang menamakan dirinya Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) banyak sekali melakukan perekrutan terhadap wanita-wanita yang merasa gagal dalam hidupnya. Kebanyakan wanita yang direkrut dalam keadaan depresi karena persoalan hidup yang mereka hadapi, wanita-wanita tersebut banyak yang berasal dari Eropa khususnya negara-negara yang kurang memiliki tingkat toleransi lemah terutama jika berhadapan dengan simbol-simbol keIslaman.

Emilie Koniq menjadi salah satu contoh bagaimana seseorang yang sedang depresi begitu mudah dipengaruhi oleh ISIS untuk kemudian dijadikan sebagai anggotanya. Koniq merupakan wanita asal Lorient, Brittany. Dia menganggap dirinya telah gagal dalam hidup, dalam keadaan depresi itulah dia memutuskan untuk pergi Suriah dan bergabung dengan ISIS. Ia sempat ditemui sosiolog dan pembuat dokumenter, Agnes de Feo saat membahas soal kebijakan niqab di Prancis.

Bulan lalu, Koniq ditangkap sebagai salah satu perekrut ISIS dari Prancis. Pasukan Kurdi Suriah menahan dan mengadilinya atas tuduhan kejahatan merekrut untuk kelompok teror dan rutin menyebarkan propaganda.

Selain melakukan perekrutan melalui berbagai pertemuan yang digelar secara sembunyi-sembunyi (offline) kelompok teroris ISIS juga sangat massif melakukan perekrutan melalui dunia maya (online) dengan menyebarkan narasi propaganda, menyebarkan propaganda video dan janji-janji sorga yang menjadi iming-iming sorga bagi siapapun yang mau bergabung dengan kelompok teroris tersebut.

Koniq saat ini ditahan bersama ketiga anak-anaknya yang masih kecil. Semua anaknya lahir ditengah konflik peperangan selama lima tahun di Suriah. Koniq ditangkap bersama beberapa perempuan asal Prancis.

Ibu Koniq yang tinggal di Brittany mengatakan bahwa anaknya itu sebenarnya telah ingin pulang ke Prancis. Ia mengaku menyesali perbuatannya dan siap bertanggungjawab kepada negara terhadap segala perbuatanya.

“Ia minta maaf pada keluarga, teman dan negaranya,” kata sang Ibu pada surta kabar Ouest Frace seperti dikutip pada laman www.repblika.co.id, rabu (10/1/2018).

Namun pemerintah Prancis tidak sedang mood untuk memberi maaf sehingga Koniq dibiarkan menghadapi peradilan di Suriah.

Pasukan Kurdi menjamin Koniq akan diadili secara adil. Pada Senin (8/2018), Kurdi merilis video Koniq tanpa memakai hijab untuk mengklarivikasi tuduhan penyiksaan di tahanan. Kurdi menjamin Koniq diperlakukan dengan benar.

Pada The Local, Agnes de Feo menceritakan pertemuanya dengan Koniq pada 2012 lalu, saat itu, ia sedang membuat video dokumenter tentang perempuan Prancis yang memakai cadar. Padahal saat itu, kebijakan pemerintah menyebutnya ilegal.

Kisah Koniq mengalir dengan pahit. De Feo mengatakan Koniq merupakan perempuan yang kesepian, terluka dan punya kemarahan yang tersembunyi. Ia membenci masyarakat karena tidak dapat menemukan kedamaian.

“Emilie punya kemarahan sangat besar dalam dirinya,” kata De Feo. Hidupnya gagal baik dalam tataran profesional, keluarga dan pribadi. Ia menderita penghinaan dan ingin sekali membalas dendam.

Ibu Koniq bercerita bahwa putrinya itu mulai berubah saat remaja. Ia mulai merasakan ketidakadilan dan benci pada ayahnya. Mantan polisi ini meninggalkan keluarga saat Koniq berusia dua tahun. De Feo yakin, perubahan dari anak manis menjadi ekstrimis juga karena kekalutan dan kemarahannya pada masyarakat Prancis. Ia rasa masyarakat bertanggung jawab atas semua yang terjadi padanya.

“Ia ingin balas dendam dan pergi ke Suriah untuk mencarinya,” kata De Feo.

Sang ibu sepakat, putrinya itu selalu gundah dan selalu mencari pelampiasan. Saat melihat video putrinya mengenakan hijab dan memegang senjata laras panjang di Suriah, ia tahu itu yang dicari Koniq.