Palu – Dunia pendidikan Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang
komplek. Saat ini dunia pendidikan memiliki tiga dosa besar yaitu
intoleransi, kekerasan termasuk kekerasan seksual, dan buli.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Dinas Pendidikan Sulawesi Tengah
(Sulteng) Dr. Asrul Ahmad SPd, MSi, pada kegiatan “Pelatihan Guru
Dalam Rangka Pencegahan Radikal Terorisme di Satuan Pendidikan” di
Aula SMAN 1 Palu, Sulteng, Rabu (22/11/2023).
Ia berharap dengan kegiatan ini para guru bisa meningkatkan
pemahamannya keterkaitan antara intoleransi dengan radikal terorisme
dan bagaimana penyebaran terorisme itu masuk ke satuan pendidikan.
“Intinya bagaimana kita mampu mengimplementasikan visi dan misi apa
itu buli, intoleran, kekerasan, kita tahu. Tapi ketika bicara
implementasi tentunya butuh peran dan tanggung jawab serta perhatian
sungguh-sungguh,” ujar Asrul.
Ia mengungkapkan saat ini ada pembagian kewenangan dalam pengelolaan
pendidikan di Indonesia. Dinas Pendidikan Provinsi Sulteng sendiri
mengurus pendidikan menengah dan khusus yaitu SMA, SMK, dan sekolah
khusus luar biasa, sedangkan SD dan SMP menjadi kewenangan pemerintah
Kota/Kabupaten
Dari ratusan SMA, SMK, dan SLB di Sulteng, saat ini ada kurang 70.963
murid SMA dan SMAN 1 Palu menjadi penyumbang terbanyak yaitu 1500
siswa. Kemudian SMK 42949 siswa, dan SLB 1593 siswa.
“Kalau dihitung dengan potensi siswa yang besar itu, SDM guru 5441
belum cukup. Kenapa? Banyak persoalan salah satunya penyebaran guru
tidak merata. Karena semua maunya mengajar di kota. Guru SMK 3665 ini
paling sulit dipenuhi karena mereka guru keahlian. Juga guru SLB. Jadi
luar biasa tanggungjawab dinas pendidikan,” jelasnya.
Untuk menghapus tiga dosa besar, maka domainnya fungsi mendidik
seorang. Kalau mendidik itu berarti penanaman nilai-nilai kepada
peserta didik. Sementara orang mengajar belum tentu mendidik, tapi
kalau orang mendidik sudah pasti mengajar. Guru belum tentu pendidik,
tapi pendidik sudah pasti guru.
“Tiga persoalan besar itu harus kita hapus pada satuan pendidikan
karena berpotensi menghambat perkembangan peserta didik. Sebagian
sekolah sudah tidak jadi tempat nyaman bagi anak-anak kita untuk
mengikuti pendidikan. Ketika sekolah tidak jadi tempat nyaman, saya
yakin anak kita tidak akan tumbuh dan berkembang secara maksimal,”
urainya.
Ia menambahkan, kasus intoleransi menjadi benang merah dengan kegiatan
“Pelatihan Guru Dalam Rangka Pencegahan Radikal Terorisme di Satuan
Pendidikan”. Ia memahami bahwa intoleransi adalah sikap seseorang yang
tidak mau menerima perbedaan dengan orang lain. Mereka seakan-akan
paling benar.
“Ini kalau tidak dimanage dan diselesaikan dengan baik, berpotensi
memunculkan yang namanya radikal terorisme. Sama dengan buli, kalau
tidak bisa kita atasi, sama dengan paham radikal tidak sadar dan
kemudian dimasukkan,” jelasnya.
Untuk menangkal hal itu, katanya, salah satu upaya yang dilakukan
dengan penguatan profil pelajar Pancasila.
“Sebenarnya profil pelajar Pancasila dulu namanya pendidikan karaktter
karena nilai-nilainya sama. Gotong royong, disiplin, mandiri, kreatif,
nasionalisme. Tidak ada hal baru. Kalau tidak ada hal yang baru saya
yakin teman-teman tidak susah beradaptasi dengan profil pelajar
Pancasila,” pungkasnya.