Dalam praktek berkehidupan sosial, kadang-kadang kita sulit membedakan kelompok usia mana yang boleh kita sebut anak-anak. Bahkan ada teman yang anaknya sudah kelas tiga SMA namun tetap dipanggilnya dengan panggilan sayang layaknya panggilan ke balita. “Dedek Yayang,” begitu panggilnya. Panggilan ini diberikan hanya karena anak tersebut sangat manja kepada orang tuanya.
Tanpa bermaksud membedakan kelompok umur, penulis ingin mengupas anak dari perpekstif lain, yakni perspektif keterpengaruhan anak terhadap radikalisasi dan radikalisme, tanpa melihat umur. Dalam pandangan penulis, radikalisme itu Ibarat kanker jinak. Ia cepat menyebar, namun jika dari awal sudah teridentifikasi, maka tidak akan terlalu sulit untuk mencegahnya.
Yang sangat mendasar adalah perlunya kesadaran bahwa radikalisme ada di berbagai ruang kehidupan kita. Ia bisa datang dalam komunitas pengajian, ia bisa hadir di kampus, ia bisa juga datang di tengah-tengah keluarga kita tanpa kita menyadarinya. Di berbagai belahan dunia, di berbagai negara, bahkan sampai di kampung-kampung sekitar kita tinggal, banyak elemen masyarakat yang tidak menyadari sebaran radikalisme ini.
Di era Revolusi di mana komunikasi sudah serba digital, jaring dan sistem komunikasi sudah berbasis signal yang nirkabel, kecerdasan manusia kian bertambah dan meningkat di segala lapisan umur. Yang terkadang beda generasi menimbulkan kesenjangan kalau generasi yang lebih senior menyikapi secara konservatif perbedaan itu. Lalu, lahirlah istilah “gaptek” atau “gagap teknologi”. Ini yang berbahaya pada konteks pencegahan penyebaran radikalisasi di tengah masyarakat. Kelompok yang disebut “Gaptek” tidak akan mampu melihat, apalagi mengidentifikasi, gejala,dan fenomena penyebaran radikalisasi melalui dunia maya yang menyasar anak-anak.
Intoleransi Sebagai Induk Semang Radikalisme
Ini adalah ungkapan yang berkali-kali diucapkan dalam berbagai kesempatan seminar, dialog dan forum oleh pengamat terorisme senior Ansyaad Mbai, mantan kepala BNPT. Penulis sangat mengamini ini. Bukan karena beliau adalah mantan atasan. Bukan karena beliau mantan petinggi. Penulis pun sudah mencoba mencari dengan membongkar berbagai buku literatur tentang redikalisme-terorisme, juga searching di google, tidak ada satu teori pun yang memuat koneksitas gabungan keduanya.
Yang ada hanyalah kupasan parsial tentang intoleransi dan radikalime secara terpisah. Penulis mengira ini adalah temuan beliau dari praktek-praktek penanggulangan terorisme di Indonesia selama beliau menjabat. Sulit terbantahkan bahwa radikalisme dan terorisme bermula dari intoleransi. Tindakan intoleransi dan radikalisme berawal dari pemahaman bahwa kayakinan tertentu adalah yang paling benar sendiri, sedangkan kelompok lain yang berbeda adalah salah. Sering intoleransi berujung pada terciptanya sekat-sekat yang melahirkan dikotomi ras dan agama. Konflik etnis China tahun 60-an. Kasus konflik suku Dayak-Madura di Kalimantan. Konflik agama di Ambon dan Poso, serta kasus Sampang, adalah contoh dari buah intoleransi .
Manakala identifikasi pemicu (trigger) tidak segara diketahui, dan akar persoalan (pivotal) tidak segera dicabut, serta pemimpin yang memegang peran (mobilizing) tidak segera diamankan atau minimal dihentikan kegiatannya, maka faktor yang memperuncing (gravitating) pasti terjadi. Di situ terbit kepentingan kelompok yang mencoba mempenetrasi situasi agar terjadi kekacauan sambil menanamkan paham dan aliran tertentu. Fakta itu pernah terjadi saat dan pasca kerusuhan agama, konflik komunal di Ambon dan Poso tahun 1998. Betapa melalui simpul-simpul perkawinan, pertemanan, ketokohan teroris, al Jamaah al Islamiah (JI) kemudian memainkan perannya dengan sangat cantik saat itu.
Memahami Radikalisme Pada Anak-Anak Sebagai Resep Pencegahan Jangka Panjang
Dunia anak adalah dunia bermain. Dunia anak adalah dunia lucu-lucuan. Lihatlah anak-anak, kadang mereka tertawa-tawa, bertengkar, habis itu menangis dan tertawa lagi. Di kampung, anak-anak duduk di tanah sambil bermain. Yang lebih besar berlari-larian. Ada yang main kelereng, ada yang bermain layang-layang. Di kota besar, tempat permainan sepert time zone, mandi bola, taman bermain, tadika, kindergarden selalu diramaikan oleh anak-anak. Ada pula yang bermain game via gaget. Itulah dunia anak anak.
Tapi terkadang kita lupa bahwa di era sekarang ternyata anak-anak juga bisa disusupi paham-paham radikal. Perkembangan teknologi komunikasi, kesenjangan antar generasi dalam penguasaan teknologi komunikasi, serta terbatasnya kemampuan pengawasan orang tua ikut menjadi penyebab.
Tanpa disadari, ada budaya-budaya sekolah di daerah yang justru menanamkan intoleransi, seperti melarang murid lelaki bersalaman dengan guru perempuan dengan dalih melatih tata hubungan muhrim dan non muhrim. Bahkan ada orang tua yang melarang anaknya ikut pelajaran agama di sekolah karena aliran yang berbeda. Contoh intoleransi ini, apabila kemudian diikuti dan diyakini kebenarannya oleh anak anak, maka akan melahirkan radikalisme.
Intoleransi adalah induk radikalisme. Gejala-gejala ini pun kalau diamati sebetulnya sangat menyolok. Biasanya anak-anak yang terpapar radikalisme menunjukan cirri-ciri tidak mau berdialog, berkomunikasi dan sangat anti kompromi. Setiap komunikasi dua arah akan dimaknai sebagai perlawanan; mereka lebih mengedepankan strategi konfrontatif. Saat orang lain berbicara tentang arus kekinian yang moderat, maka cara pandang dan sosialisasi para radikalis akan berbeda, mereka cenderung menarik diri dari arus utama. Mereka juga melihat sistem yang ada secara skeptis. Harapan mendasar adalah adanya perubahan yang fundamental. Akibatnya cara-cara dengan kekerasan dianggap sesuatu hal yang dibenarkan.
Dalam berbagai dialog terhadap orang tua yang anaknya terpapar radikalisme, rata-rata orang tua tidak menyadari bahwa anaknya sudah menjadi radikal. Mereka baru terhenyak kala anaknya tidak mau diajak ke mall karena di mata sang anak mall itu milik orang kafir. Anaknya tidak mau lagi diajak makan Kentucky Fried Chicken karena menganggapnya haram. Anak tidak mau berbaur dengan anak-anak beraqidah/beragama lain. Bahkan ada yang tidak mau bersalaman setelah pelaksanaan sholat berjamaah. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut. Ada banyak upaya yang perlu dilakukan untuk memastikan anak-anak aman dari pengaruh buruk paham radikal-terorisme, salah satunya seperti yang dilakukan oleh Mothers School Without Borders.
Mothers School Without Borders adalah sebuah yayasan yang perduli terhadap pencegahan berkembangnya radikalisasi anak-anak. Didirikan atas inisiatif ibu-ibu dari berbagai negara untuk mencegah radikalisme pada tahun 2012. Sekolah pertama didirikan di Tajikistan, kemudian disusul di Pakistan. Mother School ini diutamakan sebagai basis deteksi orang tua untuk mengetahui tanda-tanda dini anak terpapar radikalisme. Dalam pandangannya, ada beberapa ciri anak yang sudah terpengaruh paham radikal, diantaranya; anak sudah tidak mau makan malam atau melakukan pertemuan bersama keluarga, anak-anak tidak nyaman lagi bersama dengan orang lain, mulai tertutup, punya idiologi tersendiri yang berbeda dengan orang lain.
Bagaimana mencegah anak-anak terpapar radikalisme?
Pertama, kasih sayang merupakan kata kunci. Berikan kasih sayang pada anak anak. Termasuk dalam menjalankan aqidah. Tuntun dan arahkan. Berikan contoh-contoh riil makna kasih sayang dalam agama. Kedua, diskusi dengan anak tentang makna surat, ayat dan hadist yang rawan dipertentangkan. Jangan bantah dan salahkan bila anak mempertahankan argumennya, tapi cari yang paling benar, jika perlu, undang ustadz yang kredibel.
Ketiga, kontrol dan batasi penggunaan gadget oleh anak. Baik permainan game, pembukaan situs-situs rawan. Dampingi saat anak-anak berinteraksi dengan gadget. Keempat, pelihara hubungan harmonis dengan tetangga, temani anak-anak bermain. Kelima, kembalikan anak-anak pada dunianya. Dunia bermain. Tidak ada salahnya permainan konvensional dihadirkan.
Ingat, intolaransi pada anak-anak akan melahirkan radikalisme. Kembalikan anak-anak pada dunianya; bermain.