Surabaya – Situasi politik Tanah Air memanas menyusul aksi demonstrasi
di jalan menyoal keputusan MK terkait Pilkada. Tensi semacam ini
nyaris selalu ditunggangi kelompok radikal. Polarisasi adalah celah
yang sering dimainkan. Karena itu, celah ini harus ditutup serapat
mungkin.
Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (UNAIR)
Surabaya Dr. Listiyono Santoso, S.S., M.Hum menyampaikan bahwa
generasi muda dapat berperan untuk mencegah polarisasi yang semakin
luas di masyarakat dengan bersikap netral dan objektif terhadap
situasi yang ada
“Memang polarisasi di masyarakat adalah keniscayaan yang tidak bisa
dibendung, apalagi kita ada warisan kontestasi politik sejak 2014 dan
2019. Nah generasi muda atau gen z ini harus diarahkan, agar ketika
terjadi polarisasi di tengah-tengah masyarakat mereka bisa mencari
informasi-informasi yang kredibel dan benar,” ujar Dr. Listiyono
Santoso di Surabaya, Kamis (29/8/2024).
Dosen pada Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia itu mengatakan bahwa
kalau ada polarisasi di tengah-tengah masyarakat, maka sebaiknya
berdiskusi dengan dosen, dengan guru, dengan orang-orang terpercaya
yang bisa melihat kondisi yang terjadi secara utuh dan tidak berat
sebelah.
“Karena dengan dialog ini akan ada pencerahan dan transfer keilmuan,
sehingga gen z diharapkan tidak terjebak di dalam polarisasi itu dan
bisa bersikap objektif dan netral terhadap situasi yang berkembang di
masyarakat. Gen z harus bisa berdiri di tengah-tengah, menjadi
moderat,” tutur Listiyono.
Dirinya meyakini bahwa gerakan-gerakan mahasiswa hari ini adalah murni
berasal dari idealisme mereka dengan melihat realitas yang terjadi.
Karena menurutnya mahasiswa tidak mudah untuk ditunggangi.
“Jika ada varian-varian lain, bisa jadi itu adalah kelompok di luar
gerakan mahasiswa, dan mahasiswa harus mewaspadai itu. Kalau aksi-aksi
yang dilakukan kemudian memuculkan anarkisme, melanggar hukum dan
konstitusi, maka harus segera menarik diri,” tuturnya.
Karena menurutnya, ukuran sebagai warga negara untuk benar dan salah
adalah berdasarkan ukuran konstitusi. Dan menurutnya, mahasiswa harus
diberikan pemahaman yang baik agar bagaimana loyal terhadap
konstitusi.
“Jadi kalau ada pihak-pihak yang mencoba menunggangi gerakan-gerakan
mahasiswa, maka mahasiswa harus merefleksi diri, bahwa mereka adalah
gerakan murni untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk
kepentingan kelompok-kelompok tertentu,” tegasnya.
Lebih lanjut ia juga menyampaikan bahwa polarisasi yang terlalu hitam
putih, yang menegasikan pihak lain yang tidak sejalan, punya potensi
konflik yang besar. Dan akademisi menurutnya juga harus berpijak
kepada kepentingan negara dan bangsa, bahwa polarisasi yang saling
menegasikan dan menghancurkan, harus segera diakhiri.
“Kita harus belajar kepada sejarah kita, bagaimana para bapak bangsa
kita yang mau berkompromi dan berdialog di tengah-tengah perbedaan
yang ada demi kepentingan bangsa dan negara,” katanya.
Karenanya, dirinya berharap agar masyarakat dan generasi muda tidak
mudah menyerap informasi dari sosial media, yang mana tidak disaring
kebenarannya. Karena menurutnya, dengan sosial media dan teknologi
digital hari ini semua orang bisa jadi jurnalis, semua orang bisa
menyebarluaskan informasi dan konten yang belum tentu, konten-konten
itu bisa mengedukasi.
“Maka generasi muda, khususnya gen z ini harus punya kemampuan untuk
menyerap informasi secara kritis, supaya bisa memilih dan memilah
informasi yang ada,” tuturnya.
Terakhir, dirinya berharap agar pemerintah dapat membuat
kebijakan-kebijakan yang berorientasi kepada dibangunnya sikap dialog
yang interaktif dan inklusif antar suku, agama dan sebagainya.
“Jangan sampai memunculkan kebijakan yang menganakemaskan salah satu
pihak atau kelompok dan menganaktirikan yang lain. Karena itu akan
memunculkan kelompok-kelompok intoleran, radikal dan teroris. Karena
merasa ada ketidakadilan dalam kebijakan-kebijakan itu. Maka negara
harus berorientasi kepada kepentingan warga negara secara meyeluruh,
bukan kepentingan kelompok-kelompok tertentu,” pungkas Listiyono.