Jakarta – Perdamaian merupakan keharusan bagi suatu negara untuk membina peradabannya. Destabilisasi sosial dan ekonomi menjadi konsekuensi logis bagi negara-negara seperti Palestina yang dilanda konflik berkepanjangan. Maka dari itu, sesuai dengan pembukaan Undang Undang Dasar 1945, Indonesia harus berperan aktif melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG (Sekolah Kajian Stratejik dan Global) Universitas Indonesia, Muhamad Syauqillah, M.Si., Ph.D., menjelaskan bahwa hambatan terbesar dari perwujudan perdamaian adalah tindak kekerasan yang terus berlanjut. Diperlukan berbagai upaya dalam membangun dialog yang konstruktif dan solutif.
“Perdamaian itu sejatinya adalah bahwa kita bisa membangun kepercayaan antara satu dengan yang lain. Kita perlu membangun jembatan komunikasi melalui dialog yang konstruktif, tidak hanya soal Palestina dengan Israel, namun juga pada konteks Papua yang hingga saat ini masih dilanda konflik,” ujar Syauqillah di Depok, Rabu (8/11/2023).
Pendekatan secara diplomatis dalam suatu perselisihan antar wilayah atau negara akan selalu terbuka bagi Indonesia, karena cara ini akan meminimalisasi dampak buruk yang mungkin ditimbulkan dari konflik itu sendiri. Hal ini pula yang ditempuh Pemerintah Indonesia dalam mencari titik temu pada persoalan di Papua. Melalui kerangka diplomasi, Indonesia secara aktif meyakinkan berbagai pihak bahwa Papua masih menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Syauqillah yang secara aktif mempelajari isu radikalisme dan terorisme berpendapat bahwa permasalahan seperti ini tidak hanya terpaku pada satu dimensi saja. Pencarian solusi bagi permasalahan dalam negeri seperti di Papua dilakukan dengan banyak jalan. Selain diplomasi, pendekatan melalui jalur hukum dan koersif menjadi beberapa opsi yang diambil Pemerintah dalam menjamin keselamatan warga setempat dan infrastruktur publik yang ada disana.
“Begitu juga dengan apa yang hari ini terjadi di Palestina, mau tidak mau kita harus menyatakan bahwa diplomasi adalah pilihannya. Walaupun kita tahu, apa yang terjadi di Palestina sudah sangat mengkhawatirkan. Saya melihatnya, ibarat suatu alat pengukuran, peperangan Palestina – Israel sudah melewati batas garis merah, dimana garis merah itu disepakati untuk tidak bisa dilewati, namun Israel tetap saja melewati batas itu,” tegasnya.
Ia menguraikan, tragedi kemanusiaan ini menyebabkan ribuan orang meninggal dunia. Banyak pihak, termasuk Indonesia, menekan PBB untuk mengupayakan perwujudan perdamaian secara konkret, sehingga tidak lagi korban jiwa yang terus berjatuhan.
Sedemikian parahnya kerusakan yang ditimbulkan invasi Israel terhadap Palestina, ucap Syauqillah, membuat seluruh pihak tidak hanya bicara soal korban manusia, namun juga hancurnya suatu peradaban. Dunia Internasional telah menyaksikan bagaimana banyak bangunan bersejarah dan rumah ibadah di Gaza telah rata dengan tanah, begitu juga dengan benda-benda bersejarah lainnya.
Intinya, lanjut Syauqillah, perdamaian harus terus diupayakan melalui kerangka hukum yang berlaku agar memiliki kekuatan secara formal. Kalau tidak begitu, maka kita harus akan menimbun banyaknya korban yang terus berjatuhan dari kedua belah pihak. Satu nyawa yang hilang itu tidak bisa hanya dihitung secara statistik. Kita harus terus menghindari jatuhnya korban manusia, baik itu hanya satu, ratusan, ataupun ribuan nyawa.
Menurutnya, statistik semata tidak cukup untuk menakar seberapa berharganya nyawa manusia. Walaupun hanya satu atau dua orang yang meninggal dunia, tapi harus bisa melihatnya dengan kacamata kemanusiaan, sehingga diplomasi kemanusiaan itu yang perlu didorong.
“Melalui diplomasi tersebut, masyarakat dunia dapat semakin memahami bahwa rakyat Palestina membutuhkan uluran tangan semua pihak yang ada di dunia ini. Baik itu dunia Arab, dunia Islam, bahkan dunia barat. Ini yang menurut saya hari ini perlu terus didorong. Seharusnya kita tidak boleh lelah mendorong upaya-upaya diplomasi kemanusiaan seperti ini,” terang Syauqillah.
Pakar ilmu politik dan isu internasional ini juga menggarisbawahi peran signifikan media dalam suatu konflik dan tragedi kemanusiaan. Media harus bisa menjaga netralitasnya dan tidak bias pada isu utamanya, yakni kemanusiaan dan perdamaian itu sendiri. Media harus punya keberpihakan terhadap penderitaan korban konflik, khususnya bagi kaum perempuan dan anak-anak yang ikut menanggung beratnya dampak peperangan.
“Hal semacam itu juga perlu di cover oleh media, sehingga media itu dapat dipercaya dan didengar oleh publik. Sebaiknya, dalam konteks memberitakan peristiwa di ruang publik, media tidak kemudian menjadi corong dari propaganda atau kepentingan salah satu pihak yang berkonflik. Media perlu memainkan perannya dalam melakukan diplomasi kemanusiaan dan menyuarakannya ke ruang publik, sehingga masyarakat mengerti bahwasannya permasalahan utamanya adalah isu kemanusiaan,” pungkas Syauqillah.