Deradikalisasi Peningkatan Kapasitas Rumah Ibadah

Imam dan khatib berperan sebagai penterjemah antara kondisi dan keadaan masyarakat yang selalu mengalami peningkatan yang tidak terlepas dari berbagai problematika keagamaan, keumatan, kemasyarakatan dengan pesan-pesan yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an dan hadis-hadis yang memiliki kekuatan sanad, rawi dan matan yang mutawatir. Idealnya seorang imam apalagi menjadi seorang khatib memiliki kajian yang dalam, wawasan yang luas, serta bacaan dan pengetahuan kesejarahan yang lengkap dan komprehensif. Kondisi tersebut masih jauh dari harapan yang ideal, kondisi objektif yang ada dalam masyarakat kita, seorang imam atau khatib baru sebatas memimpin salat berjamaah dan menyampaikan khotbah pada hari jumat.

Pemerintah melalui kementerian agama harus banyak melahirkan banyak penghafal al-Qur’an yang dapat memandu salat berjamaah secara khidmat dan khusyu. Demikian pula menjadi khatib bukanlah pilihan terakhir dan sebuah keterpaksaan jika telah berada ddi tengah masyarakat. Namun harus dipersiapkan sejak dini dengan penguasaan ilmu-ilmu penunjang terutama memahami bahasa Arab, mengetahui asbab al-Nuzul dan asbab al-Wurud sebuah ayat dan hadia, serta menguasai ilmu ushul fiqhi sebagai sebuah metodologi dalam melakukan istinbath hukum.

Kondisi ideal seperti tersebut diuraikan bukan berarti seorang imam dan khatib wajib memiliki persyaratan tersebut secara seketika, namun seiring waktu berjalan semua sistem mutlak dibenahi dan diperhatikan, sebab jika tidak menjadi atensi khusus, maka kelompok yang menamakan diri gerakan dakwah akan menyalib peran imam dan khatib yang ada pada setiap masjid yang ada di Indonesia. Jika hal tersebut terjadi dalam setiap struktur rumah ibadah di Indonesia, maka fenomena saling menyalahkan, merasa diri benar, pihak lain salah dan bid’ah, sesat, neraka. Menyebar dan menjadikan masyarakat makin tidak menentu, kacau dan galau. Agama tidak lagi akan membawa makna yang damai dan mendamaikan, sejuk dan menyejukkan, tenang dan menenangkan, akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu beragama itu melahirkan anarkisme, menciptaakan pertikaian dan pertengkaran, sungguh akan terjadi peristiwa yang jauh dari makna suci agama dan keberagamaan.

Peran pengurus masjid tidak kalah urgennya dalam struktur organisasi kepengurusan rumah ibadah, sebab memaksimalkan peran dan fungsi masjid terletak dari profesionalisme dan kemauan pengurus yang berpengaru pada keaktifan dan kekompakan di antara pengurus masjid, sebab menjadi pengurus masjid harus didasari niat yang tulus dan keikhlasan tanpa pamrih karena tidak ada honor dan tunjangan dari jamaah, namun berharap amal lbadah di sisi Allah swt. serta imbalan yang tidak bersifat meterial keduniaan.

Sebuah masjid akan ramai, sibuk dan hiruk pikuk dengan berbagai macam kegiatan peribadatan dan kegiatan kemasyarakatan, bila para pengurusnya menjadikan masjid bukan hanya tempat beribadah ritual kepada Allah swt, semata, akan tetapi di dalam lingkup dan lingkungan masjid dapat diadakan perpustakaan yang menjadi pusat pembelajaran masayarakat, dapat pula difasilitasi dengan koperasi masjid tempat umat bertransaksi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan pokok jamaah. Peran pengurus masjid yang dijelaskan tersebut, telah banyak yang dapat kita saksikan di setiap kota-kota besar, namun sangat diharapkan kondisi yang komprehensif tersebut dapat diwujudkan hingga ke daerah kabupaten, kecamatan atau sampai ke pelosok-pelosok desa dan kelurahan.

Terakhir, keberadaan marbot atau pegawai masjid juga memiliki peran vital dalam memakmurkan masjid, memperlancar segala aktifitas yang diputuskan para pengurus masjid, jamaah dan tokoh masyarakat, baik aktifitas ibadah ritual maupun ibadah sosial, menjaga kebersihan dan kenyamanan ruangan masjid, tidak membiarkan alas kaki kotor, dan selalu menjaga kebersihan tikar sembahyang sehingga para jamaah tetap merasa nyaman dalam beribadah serta selalu rindu untuk datang melaksanakan dan mendirikan sholat berjamaah di masjid.

Selain tugas dan rutinitas harian dari marbot dalam sebuah masjid, membentengi masjid dari hiruk pikuk kedatangan jamaah beribadah juga menjadi perhatian khusus dari seorang pegawai masjid. Bukan mengawasi jamaah beribadah, akan tetapi seperti fenomena yang banyak terjadi pada sebuah masjid yang lepas dari pemantauan pengurus dan penjagaan marbot, atas nama kegiatan keagamaan di antaranya pengajian, dakwah, tarbiyah, halaqah, taklim, kelompok radikal secara aktif dan ikhlas memberikan pengajian kepada masyarakat, strategi awal adalah menarik simpati masyarakat dengan mengangkat pesan-pesan agama dengan retorika yang sangat bersahaja, dari pertemuan yang satu ke pertemuan selanjutnya perlahan tapi pasti mulai menggunakan topik memperkokoh akidah dan berbagai sikap dan prilaku musyrik menjauhkan umat dari sifat keesaan Tuhan dengan membidahkan semua aktifitas masyarakat yang tidak ada dan tidak dilakukan pada zaman Rasulullah saw,  sebab merupakan hal yang dibuat-buat dan diada-adakan yang berakibat pada prilaku menambah-nambah ajaran agama. Sementara dalam arus globalisasi dan era informasi aktualisasi dakwah yang kontekstual selalu ditampilkan dengan wajah yang pluralistik akomodatif terhadap perkembangan zaman dengan sebuah prinsip ‘memelihara nilai-nilai dan tradisi agama yang lama sangat baik, namun melakukan inovasi dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada lebih baik’.

Optimalisasi peran semua pihak yang terlibat dalam memakmurkan masjid mutlak ditingkatkan secara sistemik agar eksistensi rumah ibadah di tengah masyarakat menjadi pusat kegiatan umat baik berupa ibadah maupun kegiatan kemasyaralatan guna memperkokoh kesatuan umat dan memperteguh tekad kebersamaan dalam suasana ,asyarakat yang pluralistik. Kontribusi positif dari banyak pihak dapat meningkatkan peran rumah ibadah sebagai tempat pemersatu umat dan bukan menjadi tempat yang memecah belah keutuhan jamaah.