Deradikalisasi Peningkatan Kapasitas Rumah Ibadah

Kota seribu masjid hanya terdapat di Indonesia yaitu di provinsi Nusa Tenggara Barat, bila kita berkunjung ke pulau tersebut, kemeriahan dan keramaian masjid dapat disaksikan di setiap mengalihkan pandangan mata dari sudut kota yang satu ke sudut kota lainnya. Sempat terpikir dalam benak kita jika pelaksanaan sholat jumat tiba, apa semua masjid ditempati melaksanakan sholat jumat? Tentu tidak, sebab jumlah jamaah tidak mencukupi untuk pelaksanaan sholat jumat untuk semua masjid.

Strategi masyarakat dalam melaksanakan sholat jumat adalah menggunakan masjid yang disepakati secara bergiliran. Banyaknya jumlah masjid menjadi kegembiraan religius tersendiri bagi umat Islam, bahkan provinsi Nusa Tenggara Barat dapat dijadikan salah satu objek wisata religi di tengah maraknya promosi pariwisata yang dikampanyekan oleh presiden RI Joko Widodo. Tetapi akan lebih membahagiakan lagi jika kualitas penggunaan rumah ibadah tersebut meningkat jumlah prosentasenya dengan melahirkan pribadi muslim yang memiliki akhlak terpuji, tingkah laku yang sopan dan mindset masyarakat yang makin mencerahkan. Masjid dapat difungsikan sebagai media melahirkan dan membentuk pribadi yang paripurna serta insan kamil yang ahsanu taqwim (makhluk ciptaan Tuhan yang paripurna).

Potensi rumah ibadah secara kuantitatif berjumlah kurang lebih 800 ribu masjid se Indonesia, tentu menciptakan pengaruh psikologis terhadap penyebaran syiar agama Islam di Indonesia yang telah lama berkembang sejak Islam masuk ke wilayah nusantara Pada abak ke 7 Masehi. Sebagai pusat pelaksanaan ibadah ritual dan ibadah sosial yang makin berkembang model dan macam jenis dan bentuk aktivitasnya. Namun dapat pula melahirkan tantangan dakwah agar setiap masyarakat secara keseluruhan dapat menjadikan masjid sebagai pusat perekat antara umat Islam dari banyak organisasi masyarakat keagamaan yang berbeda, bahkan dapat merekatkan antara semua masyarakat dari berbagai macam akidah yang berbeda menjadi satu dalam mewjudkan persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia yang pluralistik akomodatif.

Masjid sebagai tempat melaksanakan berbagai macam kegiatan keagamaan mulai pelaksanaan ibadah sholat berjamaah lima waktu, kegiatan dakwah, kegiatan pendidikan dan pengajaran, kegiatan pengajian berupa halaqah, tarbiyah dan taklim. Bahkan kegiatan lainnya yang bersifat ta’abbudi (ritual pengabdian kepada Allah swt), hingga berbagai macam kegiatan yang bersifat ta’aqquli (aktifitas kemanusiaan) berupa pelatihan, pusat taman pendidikan al-Qur’an, pelatihan keterampila, kegiatan para remaja dan anak-anak dan kelompok majelis taklim.

Ilustrasi masjid yang ditegaskan dalam alquran adalah membangun basis ketaqwaan (Ussisa ‘ala al-taqwa), persaudaraan antar sesama umat Islam, demikian pula antar sesama umat manusia ciptaan Tuhan. Namun ada juga yang diilustrasikan sebagai pihak yang berbeda dengan fungsi pertama, yaitu menjadikan masjid sebagai pusat perpecahan umat bukan pemersatu umat, istilah dalam al-Quran adalah masji diror, istilah terbut bermakna lawan dari fungsi yang pertama, yaitu adanya oknum baik pribadi maupun kelompok yang menjadikan masjid sebagai media menyalurkan egoisme pribadi, kelompok atau golongan.

Hal inilah yang perlu diwaspadai muncul, tumbuh dan berkembangnya oknum, golongan atau kelompok yang oleh masyarakat awam menganggapnya sebagai ajakan ke jalan yang benar tapi kenyataannya ejekan ke jalan yang hanya merasa diri benar.

Mewaspadai menjamurnya gerakan yang menyebarkan ejekan bukan ajakan, Maka pada tahun 2014 direkturat deradikakisasi BNPT melaksanakan program nasional pemberdayaan rumah ibadah pada 10 provinsi di Indonesia. Pelaksanaan kegiatan tersebut berangkat dari fenomena adanya penguasaan puluhan rumah ibadah di wilayah Jabodetabek yang dikudeta oleh kelompok radikal anarkis yang menggunakan cover dan simbol agama. Begitu mudahnya gerakan radikal menguasai rumah ibadah di berbagai tempat, bentuk kegiatan dalam program pemberdayaan rumah ibadah adalah pertama penguatan kapasitas imam dan khatib, kedua ajakan sinergitas antara pengurus masjid, dan ketiga peningkatan peran pegawai masjid ‘marbot’.

Jika ketiga unsur tersebut bersinergi dengan jamaah memberdayakan rumah ibadah melaksanakan dan memaksimalkan peran masjid yang mencerahkan umat, kelompok radikal anarkis tidak dapat menyalahgunakan dan menguasai rumah ibadah seperti yang terjadi pada banyak rumah ibadah yang tersebar di wilayah jabodetabek. Peran imam dan khatib menuntun masyarakat berdasarkan ajaran Islam yang menjadi mainstream keyakinan dan pemahaman masyarakat Indonesia kurang berjalan secara harmonis, yang terjadi pelaksanaan ritual dan seremonial semata.

Ada kecenderungan sekedar menggugurkan kewajiban, sehingga menjadi mudah bagi gerakan yang membawa gerakan dakwah menggunakan masjid sesuai dengan interpretasi militansi mereka, yang berujung pada lahirnya sikap saling menyalahkan satu sama lain, atas nama pembaruan dan semangat keberagamaan yang dilakoni Rasulullah saw. Praktek dan pelaksanaan ritual keagamaan yang ada seolah disalahkan semua. Sementara Rasulullah saw. Diutus bukan untuk menyempurnakan pandangan, pendapat, interpretasi sebuah dalil dan nash, akan tetapi beliau diutus tak lain dan tak bukan hanyalah untuk menyempurnakan akhlak, prilaku, tata krama dan sopan santun. Baik dalam bermasyarakat, beragama dan berbangsa.