Sebagai sebuah kejahatan luar biasa, terorisme merupakan ancaman nyata yang penanganannya sudah tidak bisa lagi ditunda. Bahaya terbesar dari terorisme, sebagaimana disepakati dalam European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977, adalah bahwa kejahatan ini termasuk dalam keseluruhan tindakan dan paham yang bertentangan dengan kemanusiaan (crime against humanity). Artinya, terorisme bukan saja musuh bagi manusia, tetapi merupakan anti-thesis untuk seluruh ide dan nilai-nilai kemanusiaan yang ada; Keberadaannya bukan hanya mengancam raga manusia, tetapi juga jiwa dan akal sehatnya.
Meski begitu, penanganan terorisme tidak hanya bisa dilakukan melalui penegakan hukum (hard approach), karena terorisme bukan hanya sekedar aksi teror, tetapi juga timbunan ide-ide kekerasan yang disangkakan merupakan bagian dari perintah tuhan. Karenanya tidak berlebihan untuk menyebut bahwa terorisme adalah cycling violence atau kekerasan yang berputar. Dengan kata lain, bukan tidak mungkin bahwa korban sesungguhnya dari setiap aksi teror justru adalah para pelakunya sendiri. Mereka menjadi korban karena mereka tidak mengerti bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah kejahatan.
Karena itu, langkah pemerintah –melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)—yang lebih meningkatkan intensitas penanganan terorisme melalui pendekatan lunak (soft approach) layak untuk diapresiasi. Ini tidak berarti bahwa pemerintah mengesampingkan unsur penegakan hukum, karena pemerintah tetap menindak tegas setiap pelaku aksi teror, yang dilakukan pemerintah adalah memindahkan titik fokus penanganan; bukan lagi pada “tangkap” dan “tahan”, tetapi lebih pada “cegah” dan “sembuhkan”.
Tantangan terberat dari upaya penanggulangan terorisme terletak pada tataran –isme atau paham. Berbeda dengan jenis kejahatan lain, terorisme merupakan kejahatan yang dilandasi dengan semangat keyakinan atau bahkan keimanan. Sehingga orang-orang yang terlibat dalam kelompok-kelompok dan aksi-aksi terorisme meyakini bahwa dunia gelap yang mereka geluti saat ini merupakan bagian dari perjalanan iman, karenanya penanganan terorisme harus fokus pada aspek “cegah” dan “sembuhkan”; yakni dengan mengembalikan mereka ke jalan yang benar.
Pemerintah menyebut upaya penanggulangan terorisme ini dengan istilah Deradikalisasi, yang dalam artian yang paling kasar bermakna mengembalikan orang-orang yang semula radikal menjadi tidak lagi radikal. Upaya ini tentu patut mendapat apresiasi tinggi, pertama, karena upaya ini menyentuh langsung ke pokok persoalan, yakni pola pikir dan keyakinan, kedua, strategi ini memiliki efek jera dan cegah sekaligus. Mereka yang telah berhasil kembali ke jalan yang benar akan mengerti bahwa apa yang mereka lakukan di masa lalu (terorisme) tidaklah benar, karenanya mereka enggan atau bahkan menolak tegas untuk kembali ke kelompok/aksi terorisme.
Kejahatan, sebagaimana dijelaskan lewat life-course theory (Wright, Caspi, Moff tt, & Silva, 2001), tidak terjadi secara tiba-tiba; ada proses panjang yang membuat seseorang menjadi jahat. Menurut teori ini, kejahatan muncul dari sebuah proses dinamis yang bertumpu pada setidaknya tiga hal utama, yakni karakteristik, ciri dan pengalaman sosial. Ini berarti bahwa kejahatan tidak hanya bisa ditanggulangi dengan hukuman, karena kejahatan tidak hanya terletak pada perbuatan, melainkan juga pikiran.
Strategi deradikalisasi yang gencar dilakukan oleh BNPT menyasar pada aspek kognisi tersebut. Ini tampak dari empat ‘menu’ utama yang disajikan BNPT melalui strategi ini, yakni; Rehabilitasi, Reedukasi, Resosialisasi dan Reintegrasi. Melalui empat menu ini, para pelaku teror yang telah ditangkap dan ditahan diajak untuk secara fair dan integratif menanggalkan segala pikiran jahat terkait terorisme. Sehingga para pelaku aksi teror itu tidak hanya ditahan untuk menjalani masa hukuman, tetapi juga belajar untuk menjadi pribadi yang lebih bermartabat.
Deradikalisasi terbukti mampu mengurangi angka terorisme secara signifikan. Data internal BNPT menunjukkan bahwa sejak program ini digulirkan, hanya terdapat 1/6 saja napi terorisme yang kembali menjadi radikal selepas keluar dari penjara. Dengan kata lain, dari total 500an nara pidana terorisme yang telah selesai menjalani masa hukuman, hanya terdapat 34 saja di antara mereka yang kembali menjadi radikal. Tentu angka ini tidak sedikit, namun paling tidak hal ini menunjukkan bahwa deradikalisasi sudah on the right track dalam upaya pemerintah menanggulangi terorisme.
Hal lain yang memainkan peran penting dari keberhasilan program deradikalisasi adalah pemberiaan bekal ketrampilan kepada para napi teroris, sehingga ketika mereka kembali ke masyarakat nantinya, mereka memiliki ketrampilan yang dibutuhkan untuk memulai lembaran hidup baru. Kendala terbesar dari para ex-teroris adalah persiapan untuk kembali ke masyarakat. Selain stigma buruk dari masyarakat yang harus mereka pikul, kebanyakan ex-teroris tidak memiliki ketrampilan bekerja, sehingga potensi gagal untuk blend-in dengan masyarakat sangat besar. Karenanya langkah pemerintah yang memberikan bekal ketrampilan kepada para napi terorisme sudah sangat tepat.
Kini, tantangan penanggulangan terorisme terletak pada penerimaan di masyarakat. Travis Hirschi (1969) sudah sejak jauh-jauh hari memperingatkan bahwa masyarakat harus mampu membangun kontrol sosial untuk mengikat tiap anggota masyarakatnya, yakni dengan meningkatkan keterkaitan antara individu dan lingkungan di sekitarnya. Dalam konteks kembalinya ex-teroris ke tengah-tengah masyarakat, hal yang harus mampu dilakukan adalah membangun attachment dengan para ex-teroris tersebut, tentu dengan tetap menjaga kewaspadaan.
Pertanyaanya sekarang adalah, apakah masyarakat sudah siap menerima ex-teroris kembali ke tengah-tengah mereka? Saya sudah.