Baghdad – Pemerintah Irak langsung bereaksi menyikapi rentetan bom bunuh diri yang diklaim kelompok teroris ISIS. Untuk membalas aksi tersebut, pemerintah Irak langsung melaksanakan eksekusi mati terhadap tiga anggota ISIS melalui hukuman gantung, Senin (25/1/2021) waktu setempat.
Eksekusi mati ini dilakukan beberapa hari setelah dua serangan bom bunuh diri di pasar Baghdad, ibu kota Irak, yang menewaskan lebih dari 30 orang.
Dilansir AFP, Selasa (26/1/2021), hukuman gantung itu dilakukan setelah kelompok-kelompok HAM mengkritik otoritas Irak yang mungkin akan melakukan eksekusi mati massal sebagai sebuah ‘unjuk kekuatan’ menyusul pemboman di Baghdad pada hari Kamis (21/1/2021), yang diklaim dilakukan oleh kelompok ISIS.
“Tiga orang yang dihukum berdasarkan Pasal 4 undang-undang antiteror, dieksekusi pada Senin (25/1/2021) di penjara pusat Nasiriyah,” kata sumber keamanan Irak.
Sebelumnya, Minggu (24/1/2021) waktu setempat, seorang pejabat kepresidenan Irak mengatakan kepada AFP bahwa lebih dari 340 perintah eksekusi untuk tindakan terorisme atau kriminal siap dilaksanakan.
“Kami terus menandatangani lebih banyak,” kata pejabat yang enggan menyebutkan namanya.
Pejabat lain dari kepresidenan Irak mengatakan bahwa semua perintah yang ditandatangani setelah tahun 2014, sebagian besar di bawah mantan presiden Fuad Massum dan pada saat ISIS menduduki sepertiga wilayah negara itu.
Serangan bom bunuh diri di Baghdad adalah pengingat yang mengejutkan dari ancaman terus-menerus yang ditimbulkan oleh ISIS, meskipun pemerintah Irak telah menyatakan kemenangan atas ISIS pada akhir 2017.
Undang-undang tahun 2005 menjatuhkan hukuman mati bagi siapa pun yang dihukum karena terorisme, yang dapat mencakup keanggotaan suatu kelompok ekstremis meskipun mereka tidak dihukum atas tindakan tertentu.
Sejak deklarasi resmi kemenangan atas ISIS, pengadilan Irak telah menjatuhkan hukuman mati kepada ratusan orang atas kejahatan yang dilakukan selama serangan ISIS pada 2014. Saat itu ISIS menguasai sepertiga wilayah Irak selama tiga tahun. Tetapi hanya sedikit hukuman mati yang dilaksanakan, karena harus disetujui oleh presiden.
Kelompok-kelompok hak asasi menuduh sistem peradilan Irak korup, melakukan persidangan yang tergesa-gesa atas bukti tidak langsung dan gagal memberikan pembelaan yang tepat kepada para terdakwa.
Akhir tahun lalu, Komisioner Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet mengatakan bahwa dengan adanya kesenjangan seperti itu dalam sistem hukum Irak, penerapan hukuman mati mungkin berarti perampasan nyawa secara sewenang-wenang oleh negara.