Jakarta – Jumlah anak di bawah umur 18 tahun yang terlibat dalam pusaran ekstremisme dan terorisme beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan. Selain didoktrin, dilatih dan dieksploitasi oleh kelompok terror, mereka (anak-anak) yang pernah terlibat juga harus mendapat stigma buruk dan menerima penolakan oleh keluarga dan masyarakat.
Direktur Kerja Sama Regional dan Multilateral Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, M. Zaim Alkalish Nasution mengatakan, keterlibatan anak dalam terorisme adalah fenomena yang kompleks, sehingga dibutuhkan adanya kerja sama multi pihak dalam menangani permasalahan tersebut.
“Pendampingan terhadap anak-anak adalah kewajiban, tidak dapat dilakukan oleh suatu lembaga saja, oleh karena itu profesional yang bekerja di berbagai bidang perlu bersatu bekerjasama, menentukan tujuan bersama dan saling mendukung,” ungkap Zaim dalam acara 3rd STRIVE Juvenile Project Coordination Meeting yang diinisiasi BNPT RI bersama dengan EU dan UNODC, Selasa (14/3/2023).
Zaim berharap seluruh mitra kunci dari kalangan kementerian/lembaga hingga organisasi masyarakat akan menjalankan sejumlah kegiatan dalam membangun resiliensi atau daya tahan anak yang rentan menjadi korban ekstremisme terorisme pada program STRIVE Juvenile.
Ia menambahkan bahwa program STRIVE Junenile ini ditujukan untuk mencegah dan melindungi anak-anak dari aktivitas kelompok teror, seluruh pemangku kepentingan akan fokus pada peningkatan resiliensi anak. Fokus ini merupakan kegiatan lanjutan STRIVE Juvenile yang telah dilaksanakan sejak tahun 2021.