Jakarta – Penanganan terhadap perkara tindak pidana terorisme tentunya berbeda dengan tindak pidana umum, dalam putusan mahkamah konstitusi no.130/puu-xiii/2015 menyatakan bahwa surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (spdp) tidak hanya diserahkan dari kepolisan kepada kejaksaan, tetapi juga kepada pihak terlapor dan korban. selain itu, spdp harus diserahkan selambat-lambatnya tujuh hari setelah dinyatakan bahwa kasus yang ditangani dinaikkan statusnya ke tahap penyidikan.
Dengan adanya putusan ini masih adanya perbedaan pandangan antara penyidik dan jaksa terhadap implementasi putusan ini terlebih lagi untuk tindak pidana terorisme memiliki kekhususan dalam masa penangkapan yang selama 21 hari di banding tidak pidana umum lainya yang hanya 1 hari dan masih adanya perbedaan pandangan penyidik tentang penangkapan masuk proses penyelidikan atau penyidikan.
Untuk membahas masalah tersebut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme melalui Subdit Hubungan Antar Lembaga Aparat Penegak Hukum pada Direktorat Penegakakn Hukum di Kedeputian II bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan kembali menggelar acara Koordinasi Antar Aparat Penegak Hukum terkait Implementasi Hukum Perkara Terorisme. Pertemuan rutin tersebut digelar di Hotel Ambhara, Jakarta, Jumat (3/5/2019)
“Pertemuan rutin ini adalah langkah kita untuk menyamakan presepsi antar aparat penegak hukum tentang bagaimana menangani tindak pidana terorisme itu secara efisien dan adil. Berbagai perbedaan pandangan tentang implementasi hukum terhadap perkara terorisme oleh penyidik dan jaksa diharapkan dapat ditemukan titik tengahnya sehingga bisa dicarikan solusi yang terbaik,” ujar Inspektur Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Dr. Amrizal, M.M. dalam sambutan pembukaan acara.
Karena itu menurutnya acara seperti ini sangatlah bagus untuk untuk mengetahui permasalahan yang muncul di lapangan dan kemudian membawa dinamika tersebut kedalam rapat untuk kemudian dibahas lebih lanjut bersama-sama.
“Pertemuan ini ibarat kita mendayung menuju pulau, kita tidak dapat hanya sekali mendayung, namun perlu berkali-kali agar sampai pada tujuan, dan itu pun yang diharapkan dengan pertemuan seperti ini, ”Ujar Amrizal.
Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari Densus 88 Antiteror Mabes Polri hingga Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Diskusi awal mempertemukan Kasubdit Pra Penuntutan Direktorat Tindak Pidana Terorisme Ibu Anita Dewayani S.H., M.H dan Kasubdit Investigasi Direktorat Investigasi Densus 88 Anti Teror Mabes Polri AKBP Alexander Anggara S.H.
Bertindak sebagai narasumber sekaligus penengah BNPT menghadirkan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof. DR Jimly Asshiddiqie, SH.
“Saya bersyukur sebuah kehormatan bagi saya diundang oleh BNPT selain untuk membahas soal-soal teknis penegakan hukum tapi yang tidak kalah penting adalah membangun kesadaran pentingnya peran BNPT di Negara Kita,” Ujar Jimly
Terlebih ia menambahkan bahwa saat ini muncul gelombang radikalisme dan kekerasan sebagai pemicu terorisme yang semakin meluas, maka dari itu ia berharap Aparat Penegak Hukum dapat bersinergi dengan BNPT untuk menangani perkara terorisme.
“Saya berharap cara bekerja kawan-kawan di BNPT terus ditingkatkan agar semakin efisien dan berkeadilan agar kita dapat menyelesaikan masalah terorisme dengan ketegasan dengan pendekatan penegakan hukum yang berlaku” ujarnya.
Lebih lanjut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 hingga 2008 ini sangat mengapresiasi sepak terjang BNPT dan Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Drs. Suhardi Alius, M.H yang mengutamakan pendekatan melalui soft-approach yaitu pencegahan dan penanggulangan terorisme melalui persuasi, pendidikan, dan dialog yang sehingga mengubah cara berpikir para pelaku terorisme agar lebih mengutamakan rasa cinta perdamaian.
“Maka dari itu BNPT ini semakin penting, karena bukan hanya penting bagi pemerintah saja tapi juga penting bagi bangsa dan kemanusiaan, ” pungkas Jimly.