Anggota DPR RI ingatkan Pentingnya Pemahaman Ideologi Pancasila sebagai Tameng Cegah Paham Radikalisme dan Terorisme

Sukabumi – Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Dewi Asmara, menyoroti pentingnya pemahaman ideologi Pancasila sebagai tameng utama masyarakat dalam menghadapi infiltrasi paham radikalisme dan terorisme, khususnya di kalangan generasi muda.

Hal tersebut dikatakan Dewi Asmara,saat menjadi pembicara kunci pada acara Dialog Kebangsaan bersama Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan Dalam Rangka Pencegahan Paham Radikal Terorisme yang diselenggarakan  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) bekerjasama dengan Komisi XIII DPR RI.

Acara yang juga dihadiri Deputi bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT RI, Mayjen TNI Sudaryanto, S.E., dan Walikota Sukabumi, H. Ayep Zaki, ini dihadiri lebih dari 200 orang yang terdiri dari Forkopimda, tokoh agama, mahasiswa dan akademisi yang ada di Kota dan Kabupaten Sukabumi ini digelar di The Bountie Hotel & Convention Center, Sukabumi, Kamis (12/6/2025).  

“Di era digital, penyebaran paham ekstrem bisa masuk lewat media sosial dan informasi palsu. Maka penguatan Pancasila harus terus dilakukan secara konsisten, terutama di dunia pendidikan,” tutur Dewi Asmara, yang merupakan politisi Partai Golkar ini.

Dirinya mengatakan, penguatan yang diberikan kepada audience dalam acara ini adalah bagaimana BNPT ini sebagai institusi  yang bertanggung jawab untuk masalah keamanan negara utamanya terhadap masalah radikalisme dan terorisme ini tentunya negara yang aman itu bukan semata-mata karena akan ada reaksi teror bersenjata maupun bom dan yang lain karena banyak masyarakat yang belum paham bahaya radikalisme dan terorisme

“Tapi dalam arti kata terorisme ini kan pemaksaan kehendak untuk merasa yakin dan benar atas idealisme, atas perjuangan, atas misi yang sebetulnya bisa lebih bertoleransi. Karena basis pertahanan masyarakat Sukabumi dan Indonesia secara keseluruhan adalah para pelajar, mahasiswa dan generasi muda. Jangan hanya hingar-bingar dalam narasi, tapi minim dalam substansi.

Dewi juga mengingatkan jangan sampai era perkembangan teknologi saat ini menjadikan masyarakat bangsa ini terpecah-belah dengan narasi intoleransi dan radikalisme. Masyarakat harus secara sadar dan aktif mengklarifikasi informasi yang ditemukan di internet dan media sosial, agar tidak mudah terbawa arus yang tidak benar, namun seakan-akan benar.

“Masyarakat juga harus memahami tentang konsep proxy war, bahwa peperangan yang terjadi di suatu tempat atau di negara Indonesia, bisa jadi pemicunya adalah negara lain yang jauh dari Indonesia,” ujarnya mengingatkan.

Menurutnya, dengan adanya dialog-dialog kebangsaan seperti ini tentunya ke depan dirinya berharap para tokoh-tokoh pemuka, agama tokoh-tokoh pendidikan, dunia Pendidikan, mahasiswa dan masyarakat jadi lebih memahami bahaya itu. Bukan seperti apa yang disampaikan audience saat sesi tanya jawab yang keluar statemen terorisme itu khayalan.

“Karena bayangan mereka tinggi, ‘masak iya kita masyarakat sipil jadi pengebom?’. Padahal sebetulnya konsep daripada terorisme itu bercikal bakal dari sesuatu yang belum tentu yang bentuknya kekerasan. Tetapi teror dalam pemaksaan kehendak, dalam pemaksaan filosofi, dalam pemaksaan idealisme. Itulah perlunya suatu dialog,” ujarnya kepada para wartawan.

Karena menurutnya manusia boleh beda pendapat, boleh beda pandangan, tapi ketika berbicara dalam bahasa Indonesia dan bicara kesatuan maka kita harus ada toleransi. “Mari kita sama-sama merasa bisa menjadi satu dalam NKRI dan merupakan tanggung jawab bersama tokoh agama, tokoh pendidik maupun mahasiswa,” katanya mengakhiri.

Pada sesi dialog dalam acara ini juga menghadirkan tiga narasumber yakni Direktur Pencegahan BNPT, Prof. Dr. Irfan Idris, MA., Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU, Dr. Najih Arromadloni, M.Ag dan mitra deradikalisasi, Sofyan Tsauri.