Yogyakarta – Mantan teroris Ali Fauzi Manzi kembali memberikan testimoni. Tapi kalau sebelumnya, adik kandung bomber Bom Bali Amrozi ini, mengajak warga Bima dan peserta Workshop Duta Damai Dunia Maya Yogyakarta, kali ini Ali Fauzi memberikan ‘penebusan’ dosa dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Program Pencegahan Terorisme di Indonesia kerjasama BNPT dan PP Muhammadiyah di Yogyakarta, Jumat (22/7/2016).
“Saya berterima kasih kepada Muhammadiyah karena salah satu faktor yang membuat saya kembali ke shirotol mustaqim, berkat bimbingan orang-orang Muhammadiyah,” ujar Ali Fauzi mengawali testimoninya.
Ali Fauzi menilai, sebagai orang yang didik oleh Muhammadiyah, ia yakin Muhammadiyah punya potensi besar dalam melakukan moderasi dalan pencegahan terorisme. Karena itu, ia menilai langkah BNPT bergandengan tangan dengan Muhammadiyah akan banyak bermanfaat dalam membentengi bangsa Indonesia dari ancaman paham kekerasan dan terorisme.
“Sepanjang pengetahuan saya, kelompok teroris sangat percaya kepada Muhammadiyah. Itulah yang membuat saya yakin Muhammdiyah sangat dibutuhkan dalam pencegahan terorisme,” imbuhnya.
Sebelumnya, Ali Fauzi yang berpernah berkelana sebagai teroris di Timur Tengah, Malaysia, Pakistan, Singapura, dan terakhir terdampar di Filipina ini, dengan gamblang membeberkan sejarah terorisme di Indonesia dan sejarah dia tergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII). Diawali jejak teror di Indonesia antara tahun 2000-2016 dengan ditandai dengan bom besar pertama di Jakarta yaitu bom Kedubes Filipina yang dilakukan kawan sesama teroris, Jabar bersaudara, yang membeli material eksplosif dari Lamongan.
Kemudian disusul bom JW Mariot 1 dan 2 dan bom besar 400kg yang didesain adik kelas Ali Fauzi, Azahari dan Noordin M Top, yang meluluhkan Jalan HR Rasuna Said atau tepatnya di depan Kedubes Australia. Setelah itu, Desember 2000, rentetan bom Natal dengan 25 paket bom meledak di mana-mana. Puncaknya pada 2002, Bom Bali 1 yang beratnya 1 ton lebih yang menewarkan 202 orang.
Pada kesempatan itu, Ali Fauzi mengungkapkan proses dia meninggalkan terorisme. Itu diawali dengan saat ia dipulangkan dari Filipina dengan kondisi sakit parah, bahkan empat tulang iganya patah. Namun ia diperlakukan dengan baik oleh Satgas Bom Mabes Polri dengan dibawa berobat. Saat itu ia dibawa Kapolri Jenderal Tito Karnavian, yang saat itu masih berpangkat Kombes.
“ Awalnya saya su’udzon. Tapi ternyata tidak ada satu pukulan pun yang saya terima, bahkan mereka mengajak diskusi, kenapa sih ikut jadi teroris? Praktis jalan dari Satgas Bom membuat saya sadar. Persepktif saya saat itu mulai berubah,” ungkap Ali.
Kemudian setelah keluar perawatan dan penjara, ia mendapat hidayah dan sentuhan dari Muhamadiyah saat ia menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS), meski awalnya ia sempat apatis karena selalu ditandai sebagai grup teroris. Namun ia akhirnya menemukan manisnya perbedaan perspektif pandangan setelah banyak mendapat pelajaran dari dosen-dosennya di UMS.
Faktor selanjutnya adalah keluarga. Ali Fauzi memilki enam orang anak dan sekarang anak tertuanya sudah hafal 28 juzz Al Quran. Dan faktor terakhir adalah korban bom. Setiap melihat korban bom ia selalu menangis, apalagi mereka korban bom yang dibuat saudara dan mantan anak buahnya.
Ali bertemu kali pertama ketemu korban bom saat diundang Google ke Finlandia. Di sana ia bertemu korban bom JW Marriot yang dibuat mantan anak buahnya. “Saya menangis melihat korban bom Marriot. Mukanya rusak, tangan dan kakinya hancur. Saya rangkul dan menangis dan stress. Saat itu saya punya keyakinan apa yang mereka (teroris) lakukan adalah sebuah kesalahan,” kata Ali Fauzi.