Mencermati situasi terakhir di Marawi di mana pemerintah Filipina telah mengumumkan dua tokoh teroris paling dicari di Mindanao telah ditembak mati, penulis mencoba membuka dokumen lama yang pernah terhimpun dalam catatan-catatan kecil. Dalam secarik kertas sebagai catatan pertemuan bilateral Indonesia dan Filipina yang lalu, ada dua kalimat yang menarik, yaitu “baka pataina Isnilon tatoni hapilon”.
Kalimat di atas merupakan teriakan lantang Presiden Duterte di depan birokrat Filipina di Ilegan City setelah rumah Hapilon dibombardir. Dan satu lagi kalimat yang penulis tidak tahu sumbernya dari siapa, tapi sangat tertarik dengan kalimat itu, yakni “labanan sa Marawi” yang artinya Perang di Marawi. Inilah kalimat yang penulis pilih sebagai judul tulisan ini.
Pada Mulanya Al-Harakat Al-Islamiyah
Kalau dalam tulisan terdahulu penulis mencoba menguraikan latar belakang lahirnya pergerakan separatisme hingga terorisme yang dimulai dari Moro Independent Movement (MIM) sampai ke konflik di Marawi, kali ini penulis mencoba melihat dari sudut yang lebih mengerucut yakni pada nama-nama kelompok yang mencuat sampai pada akhirnya para dalang terbunuh. Untuk menjelaskan itu, penulis mengajak mengingat organisasi radikal, Al Harakat Al Islamiyah.
Al-harakat al-Islamiyah tidak lain dan tidak bukan itulah yang disebut “kelompok Abu Sayyaf” atau Abu Sayyaf Group (ASG). Kelompok radikal ini berbasis di pulau Mindanao, Jolo dan Basilan. Abu Sayyaf berarti orang yang ahli bermain pedang dan orang yang memiliki pasukan sangat banyak. Nama ini diambil dari nama seorang figur Mujahidin Afganistan saat dikuasai oleh Rusia tahun 85-an.
Abdul Rajak Janjalani adalah tokoh sang inisiator bagi berdirinya kelompok ini. Sejatinya pada tahun 1991, kelompok ini sudah sangat ingin memisahkan diri dari Moro National Liberation Front (MNLF), induk kelompok separatis front pembebasan di Filipina. Sosok tokoh inilah yang ingin penulis ulas dalam tulisan singkat ini.
Kelompok ini sejatinya yang ingin menghendaki Mindanao merdeka. Berunding dan bernegosiasi sebagaimana yang dilakukan oleh Nur Miswari bukanlah cara mereka. Miswari dianggap lebih bersikap sebagai juru runding menghadapi pemerintah dari pada memilih jalan mujahid yang sejati. Tentu sebagai seorang yang terdidik dan pernah kuliah di ummul qura Makkah, Janjalani tidak sependapat dengan Nur Miswari. Mulailah, pada tahun 1984 sekembalinya dari pendidikan dia memulai dakwah di Basilan dan Zamboanga.
Setelah tiga tahun berdakwah serta banyak mendapat masukan di daerah, dia bertekad untuk mengunjungi Lybia. Dari sanalah dia tertarik untuk bergabung dengan Mujahidin di Afganistan. Saat bersamaan Jamaah Islamiyah mulai mengakar dan berkembang di Indonesia, Malaysia, dan negara lain di Asia tenggara.
Al Qaedah melihat sebaran Islam yang begitu besar, sudah merasa perlu untuk mengembangkan kekuatan di Asia tenggara. Melalui Muhamad Jamal Khalifah adik Osama bin ladeen, Al Qaedah mulai memainkan pengaruhnya di Asia Tenggara. Mulailah mereka mendirikan jaringan bawah tanah berbasis Amal dan organisasi donasi.
Khusus di Indonesia, Kelompok Al-Jamaah Al-Islamiyah-organisasi tanzim ziri yang berafiliasi dengan Al Qaedah mulai memafaatkan mantan Negara Islam Indonesia (NII) yang secara struktural memang mulai terpecah menjadi dua faksi. Ada yang ingin tetap menjadi bagian NII dan ada yang ingin mendirikan kekhalifaan global. Bagi mereka yang memilih jalan kedua, mereka berangkat ke Akademi Militer Al Qaedah di Afganistan dan di Hubaibiyah. Sementara yang ingin tetap berjuang secara domestik tetap menggunakan bendera NII.
Khaleed Syeh Muhamad sebagai salah satu tokoh prominen Al Qaedah, melalui Hambali, Gungun Rusman Gunawan, dan Muhamad Karim Yusuf Faiz mulai melakukan kegiatan dengan membangun camp pelatihan serta melakukan amaliyah di Jawa dan Bali.
Secara umum di Asia Tenggara terjadi polarisasi gerakan yaitu MIM, pecah menjadi MNLF, lalu pecah lagi menjadi MILF dan di Indonesia menjadi Jamaah Islamiayah (JI) dan NII. Kedudukan Abu Sayyaf yang dipimpin oleh Abdurajjak Janjalani sebetulnya bentuk kekecewaan atas kepemimpinan Nur Miswari karena bersifat sangat komprimistis dan negosiatis dengan pemerintah.
Setelah Abdurajjak Janjalani berpulang kegiatan lebih pada penculikan, perampokan, penggorokan ketimbang memperjuangkan otonomi. Sebaliknya MILF melalui Murod Ibrahim secara bertahap memperoleh otonomi dari pemerintah. Tapi berkat kesadisan dan kepiawaian mendapat “ransom money” itulah, nama Abu Sayyaf jauh lebih dikenal dari pada “Al Harakat Al Islamiyah”. Dan karena dikenal itulah, maka Isnilon Tatoni Hapilon ditunjuk menjadi pemimpin Walayat ISIS di Asia Tenggara.
Di Balik Kelompok Moute
Awalnya Abdulah Moute dan Omar Kahyam Moute merupakan dua kakak adik yang berpikiran moderat. Begitupun dalam persoalan agama. Kakak adik ini dalam berbagai dokumen saat SMA justru mereka lebih tertarik bersekolah Kristen ketimbang di sekolah muslim. Mereka memisahkan mana agama dan mana pembelajaran dalam proses pencerdasan manusia. Untuk itu mereka sekolah di sekolah Kristen Dansalan College.
Orang tuanya adalah pengusaha properti, sekaligus tokoh masyarakat di Mindanao. Proses radikalisasi dimulai sejak dua kakak adik ini berangkat untuk studi di Timur Tengah. Kedunya berangkat ke negara yang berbeda. Abdulah lebih memilih sekolah ke Aman Yordania. Sementara Omar khayam lebih memilih universitas Al azhar di Kairo.
Setelah lebih kurang 11 tahun berada di Timur Tengah, mereka kembali ke Mindanao. Setibanya di tanah air, perkembangan radikalisme di Mindanao mulai terbentuk. Hal ini lebih disebabkan karena dua hal. Pertama; adanya keinginan dari MNLF untuk lepas dari Manila dan ingin mendirikan negara Islam sendiri. Sementara proses politik yang dilakukan oleh Nur Miswari sudah berjalan sejak tahun 1976 dan 1979 melalui perjanjian Tripoli di hadapan Muhamar Khadafy yang mengakibatkan MNLF terpecah kehilangan Kendali. Sementara MILF di bawah Ustad Murood Ibrahim secara efektif melakukan kesepatakan otonomi mulai tahun 2008 sampai memperoleh otonomi pada 7 oktober 2008 khusus Mangindanao dan Lanao Del el sur.
Sekembali dari Timur Tengah itulah, proses radikalisasi Moute terjadi. Dia mulai membangun komunikasi dengan pembuat bom dari malaysia Zulkifli Hir atau Zulkifli bin Hir dan Ustad Sanusi yang mengaku ahli syar’i dari Indonesia. Omar Kayam sebetulnya lebih memiliki sifat terbuka, mudah bergaul dan juga sangat mudah beradaptasi. Hal ini terlihat betapa saat masih sekolah dia telah menjalin hubungan dengan teman berbagai negara termasuk Indonesia. Saat kuliah itulah, pada tahun 2003, dia menemukan tambatan hatinya seorang wanita cantik warga negara Indonesia, Minhati Madrais, anak pimpinan ponpes Darul Amal, warga Bumi bakti, kecamatan babelan Bekasi.
Berbagai aktifitas perlawanan pemerintah oleh Omar Khayam Moute ini telah membuat kewalahan pemerintah, mulai dari penyerangan penjara Lanao del el sure, pembebasan Napi terorisme dan politik, dan penyerbuan markas tentara Ambusement patroli telah membuat dia lebih terkenal dengan kelompok lain. Darurat militerpun harus diterapkan pemerintah. Dan lebih dalam lagi, ternyata mujahidin dari berbagai negarapun berdatangan untuk membantu. Hal ini bisa terlihat dari ditemukannya beberapa jenazah warga negara asing saat terjadi penyerbuan pada akhir Mei 2017. Di situ diidentifikasi seorang warga negara Arab, Sheik Ahmad Belfaki, dua orang warga negara Malaysia Abdur Rahman Asmawi dan DR Kamsa Yahya, dan seorang diduga warga negara Indonesia bernama Ayman Marzuki.
Usaikah Labana sa Marawi?
Menurut penulis, dengan terbunuhnya Hapilon dari Abu Sayyaf dan Omar Khayam Maute bukan berarti labana sa Marawi selesai. Persoalan Marawi sudah campur aduk. Pertama; sudah terlalu banyak warga asing yang tidak teridentifikasi bergabung dengan kelompok-kelompok teroris Maute dan Abu Sayyaf. Ada ekstremis Arab, Malaysia, Indonesia, bahkan mungkin Uighur di Filipina Selatan.
Kedua; penerapan darurat militer, di satu sisi menguntungkan, tapi disisi lain secara tidak langsung mengusik MILF sebagai sel yang masih tidur, dan sekaligus merangsang komunis (NPA) untuk diam- diam menyusun strategi menyerang.
Ketiga; Filipina tidak memiliki satuan khusus yang handal melakukan surveillance sebagaimana Densus 88 Indonesia. Dulu mereka punya Shanglahi Task Force yang handal, tapi akibat keputusan politik pemerintah, mereka harus dibubarkan. Akibatnya penyelesaian lebih pada pendekatan militer yang less identification dan lebih banyak model kaget-kagetan.
Keempat; jangan dilupakan di Mindanao ada seorang calon pemimpin ISIS Asia Tenggara yang sudah disiapkan oleh Al Baghdadi. Dia adalah Dr. Mahmud Ahmad, mantan dosen Universitas Malaya. Setelah Muhamad Wandy, Muhamad Jaddy menghilang dan diduga tewas akibat serangan roket drone, dia dipercaya menjadi pengganti Walayat Hapilon. Dia dianggap cukup cerdas. Dia pernah belajar di Universitas Islam Istambul 1990. Pernah juga belajar dan berlatih bersama Osama bin Laden. Dia pulahlah yang diam diam membentuk tanzim ziri dengan nama “Khatibah al Muhajeer” di Mindanao. Dia pulahlah sebetulnya yang dikenal oleh kalangan mujahidin bernama “Abu Handzala” itu.
Dengan melihat berbagai faktor tersebut, penulis melihat tewasnya dua pimpinan berpengaruh dari dua kelompok radikal di Filipina ini bukan akhir dari rentetan konflik dan kekerasan. Artinya dimungkinkan bahwa labana sa marawi will going on. Kita berharap tragedi kemanusiaan itu memang cepat tuntas dan berakhir, karena akan mempunyai pengaruh besar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Semoga tidak terjadi lagi kekacauan. Semoga perdamaian akan terwujud di Asia Tenggara.
Bersama lawan terorisme