Depok – Membina narapidana yang pernah terlibat tindak pidana terorisme di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tentunya tidak bisa disamakan dengan membina narapidana kasus kriminal lainnya. Diperlukan seni pembinaan yang lebih ‘menyentuh’ dengan pengetahuan agama dalam membina narpidana kasus terorisme, karena selama ini kasus terorisme lebih cenderung membawa nuansa agama.
Edi Warsono, Kasi Bimbingan Kemasyarakatan Lapas Batu, Nusakambangan, Cilacap, adalah salah satu sosok yang banyak terlibat membina narapidana terorisme. Berbicara di sela-sela acara Workshop dan Penyelarasan Modul Identifikasi Dalam Pengembangan Kapasitas dan Penerapan Manajemen Yang Sesuai Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan Tindak Pidana Terorisme yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Edi sangat merasakan perbedaan membina narapidana terorisme dan narapidana kriminal biasa.
“Mereka (napi teroris) masuk ke Lapas karena nilai-nilai agama yang diyakininya sehingga saya harus menggunakan metode persuasif melalui jalur agama. Selama ini mereka selalu mengatasnamakan agama baik dalam cara komunikasi dan sebagainya. Jadi kita harus membangun hal yang sama dengan mereka seperti memakmurkan masjid, sholat berjamaah dan pengajian,” ujar Edi.
Edi mewanti-wanti jangan sekali-kali berdebat dengan mereka dengan hal-hal yang masih sensitif seperti pengertian jihad. Itu justru akan menghambat proses pembinaan karena jihad di mata mereka, berbeda dengan jihad sesuai arti dan kaidah islam yang sebenarnya. Selain itu, pihak Lapas juga berusaha melaksanakan hak-hak mereka secara optimal seperti hak kunjungan, hak perawatan kesehatan, hak remisi, bebas bersyarat dan sebagainya.
“Kalau hal tersebut kita lakukan secara maksimal Insya Allah mereka pasti hormat dan dengan senang hati menjalani proses pembinaan. Ingat mindset mereka telah dimasuki faham radikalisme sehingga kita harusbenar-benar hati. Bahkan mereka banyak yang masih menyimpan dendam atas penangkapan mereka oleh petugas Densus 88 sehingga seluruhpetugas dianggap musuh besarnya,” jelas Edi.
Kondisi itulah yang membuat ia dan seluruh jajarannya terus mencari formula terbaik untuk membina para napi tersebut. “Untuk membina mereka, kami juga harus mengubah mindset untuk melayani, membina, dan membimbing mereka. Apalagi mereka di sini akan tinggal bertahun-tahun, berbeda saat mereka masih ditahan di Mako Brimob yang mungkin hanya sekitar 1-2 tahun. Jadi pendekatan itu kami gunakan agar mereka segan
dan hormat kepada kita. Kenapa kita harus disegani? Karena tugas ini bagi kita adalah amanah,” tutur Edi.
Sejauh ini, formula yang digunakan Edi ini berjalan dengan baik. Terbukti, mereka bisa menerima program yang kami terapkan di Lapas. Mereka juga bisa hidup rukun dengannapi kriminal karena di Lapas Batu seluruh napi dibaurkan. “Main sepak bola, bulutangkis mereka selalu bersama. Jadi kuncinya kita mengedapankan ahklak dalam membina mereka. Jadi wibawa itu timbul karena kepribadian, bukan karena kita galak dengan mereka,” ujarnya.
Edi mengungkapkan bahwa para napi selama di Lapas bukan memandang sedang dipenjara melainkan sebagai uzlah yang artinya mengasingkan diri dari orang ramai.
“Jika dalam suasana biasa akal tidak mampu memecahkan kebuntuan, dalam suasana uzlah hati mampu membantu akal secara tafakur, merenungi perkara-perkara yang tidak boleh difikirkan oleh akal biasa. Jadi mereka (napi teroris) ini seperti merasa sedang di pesantren dan tidak merasa seperti di penjara,” ujar pria kelahiran Cilacap, 10 Mei 1962 ini.
Kendati demikian, Edi mengaku harus tetap siap dengan berbagai kemungkinan yang terjadi di Lapas. Yang paling berbahaya bila para napi teroris itu didoktrin bahwa melawan petugas adalah bagian dari
jihad. “Ini yang paling bahaya, jadi kita petugas Lapas harus bisa meng-counter hal-hal seperti itu sehingga jangan sampai mereka menanggap kami sebagai musuhnya,” ujar Edi.
Pria yang sudah berpengalaman membina terpidana mati seperti Imam Samudra dan Amrozy ini mengaku kalau tidak selamanya mulus dalam membina napi teroris. “Susahnya kalau kita kehilangan kesabaran. Kalau
kita sama mereka di thaghut-thaghut kan atau di kafir-kafirkan kita jadi tidak sabar dan marah sama dia,” ujarnya tertawa.
Dengan pendekatan-pendekatan di atas, Edi mengaku malah bisa berteman dengan para napi teroris tersebut. Dari situlah, mereka mereka mau berkeluh kesah tentang berbagai keluhan selama tinggal di Lapas. Untuk itu, ia berharap kepada rekan-rekan petugas Lapas lain yang kebetulan sedang membina napi teroris, agar benar-benar memahami wilayah syariat agama.
“Tetapi kami akan tetap mencoba. Jadi kita berusaha menggeser pemahaman jihad mereka yang tadinya radikal menjadi jihad untuk mengurusi keluarganya yang bagus. Dan itu sudah berhasil, seperti anak buah Noordin M. Top yangsekarang menjadi tukang kayu, tukang jahit. Jadi dia diajak yang aneh-aneh lagi sudah tidak mau. Saya juga sudah berpesan kepada dia bahwa istrimu sudah ditinggal 10 tahun, sekarang
saatnya dirimu merawat keluargamu yang benar,” ujar pria beranak tiga ini.