5 Pilar Membumikan Toleransi di Bumi Pertiwi

Dalam Islam, toleransi adalah nilai yang juga diajarkan Rasulullah
SAW. Kita semestinya meneladani sikap-sikap toleransi yang selalu
ditonjolkan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya. Muslim di Indonesia
sangat bisa menjunjung tinggi toleransi, saling menghormati dan
menghargai antarumat beragama. Apalagi agama di Indonesia cukup
beragam, meskipun Islam adalah agama mayoritas.

Namun, sangat disayangkan masih ada oknum-oknum yang bersikap
intoleran. Relevan dengan Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr.
Bambang Syamsul Arifin Rabu, 23 April 2025 yang mengetengahkan Tema
hasil Penelitiannya “Model Internalisasi Moderasi Beragama pada
Masyarakat Pedesaan”. menjadi inspirasi.

Sebagaimana kita ketahui, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
majemuk, memiliki beraneka ragam etnis, budaya bahkan kepercayaan yang
beragam. Untuk menjaganya tetap tentram, aman dan nyaman, perlu usaha
dari semua pihak untuk saling bekerja sama satu sama lain. Di antara
usaha yang dapat dilakukan untuk menjaganya ialah dengan mempraktikkan
moderasi beragama dan selalu mengedepankan toleransi terutama
antarpemeluk agama.

Dalam memahami pentingnya bersikap toleran terhadap umat beragama
lain, Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an melalui beberapa ayat yang
menunjukkan bahwa bersikap toleran merupakan keniscayaan untuk bisa
bermasyarakat dan bergaul dengan umat agama lain.

Allah memberikan penjelasan kepada Nabi Muhammad saw bahwa tidak semua
umat manusia yang diajak beriman mau mengikutinya. Hal tersebut sudah
menjadi ketentuan yang digariskan oleh Allah dan tidak bisa diganggu
gugat. Agama dan keyakinan tidak bisa dipaksakan kepada setiap
manusia. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Yunus ayat 40:

وَمِنْهُمْ مَّنْ يُّؤْمِنُ بِهٖ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّا يُؤْمِنُ بِهٖۗ
وَرَبُّكَ اَعْلَمُ بِالْمُفْسِدِيْ

Artinya: “Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepadanya
(Al-Qur’an), dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak
beriman kepadanya. Sedangkan Tuhanmu lebih mengetahui tentang
orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Ayat tersebut selain memberikan penjelasan mengenai “ketentuan Allah”
terhadap keberagaman keyakinan agama manusia, juga tak lain merupakan
penghibur bagi Nabi saw, serta pengingat bahwa tugasnya hanyalah
mengajak umat manusia, sedangkan memberi hidayah ialah bagian Allah
swt.

Hal ini relevan dengan Kurikulum Cinta yang digaungkan Kementerian
Agama memiliki misi untuk menanamkan nilai-nilai kasih sayang,
toleransi, dan harmoni pada generasi muda sejak dini. Tujuan utamanya
adalah menciptakan individu yang mencintai Tuhan, sesama, lingkungan,
dan bangsa, serta mampu hidup rukun dalam keberagaman. Itulah khotib
sebut dengan “Lima Pilar Membumikan Toleransi di Bumi Pertiwi:
Membangun Peradaban Cinta di Era Kurikulum Merdeka” Mari kita
elaborasi satu-persatu:

Pertama, Pendidikan sebagai Transformasi Nilai Toleransi; Nilai
toleransi sebagai bentuk kasih sayang sejalan dengan firman Allah
dalam Surat Al-Hujurat ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS.
Al-Hujurat [49]: 13).

Ayat ini menegaskan bahwa keberagaman adalah kehendak Allah yang perlu
dikenalkan sejak dini kepada anak-anak. Pendidikan yang memuat kisah
lintas iman dan budaya menjadi media transformasi nilai agar anak-anak
tidak memandang perbedaan sebagai ancaman, melainkan rahmat yang perlu
dipahami dan dihormati.

Kedua, Dialog dan Proyek Kolaboratif sebagai Transaksi Nilai, Hadis
Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).

Dialog dan proyek kolaboratif adalah cara menghidupkan nilai-nilai
akhlak mulia melalui interaksi. Dalam proyek lintas iman, pelajar
belajar menghargai perbedaan sambil bekerja sama mencapai tujuan
bersama. Transaksi nilai ini adalah proses aktif membentuk empati,
saling memahami, dan gotong royong lintas batas. Itulah esensi dari
misi kerasulan Nabi yang relevan diterapkan dalam kurikulum masa kini.

Ketiga, Pembentukan Karakter Lewat Trans Internalisasi Nilai; Firman
Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 177:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ
عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ
وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ
الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا
عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ
الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat yang merupakan
kebaikan, akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah… dan memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta…”(QS. Al-Baqarah [2]:177).

Ayat ini menekankan pentingnya kebaikan yang diwujudkan dalam tindakan
nyata. Karakter toleran tidak tumbuh dari teori semata, tapi melalui
konsistensi dalam tindakan sederhana: memberi, memaafkan, mendengar,
dan menghargai. Inilah tahapan trans internalisasi nilai yang
menjadikan cinta kasih bukan sekadar ide, melainkan watak.

Keempat, Integrasi Ekoteologi dalam Pembelajaran; Firman Allah dalam
Surat Al-A’raf ayat 56:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا
وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah)
memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap.
Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat
kebaikan.”(QS. Al-A’raf [7]: 56).

Ekoteologi mengajarkan bahwa mencintai dan menjaga bumi adalah
perintah Tuhan. Kurikulum Cinta yang mengintegrasikan nilai spiritual
dengan pelestarian lingkungan mendidik anak-anak agar menjadi manusia
yang tidak hanya toleran terhadap sesama, tetapi juga terhadap seluruh
ciptaan. Toleransi ekologis ini adalah bentuk ibadah yang bernilai
tinggi.

Kelima, Toleransi sebagai Pilar Bangsa dan Modal Sosial Masa Depan;
Nabi Muhammad SAW: mengajarkan Bagaimana cara kita mencintai saudara
kita? Di sini dapat kita pelajari dari Hadits Arbain karya Imam
Nawawi, no. 13.

عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – خَادِمِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ” رَوَاهُ
البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan
iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri.” [HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45].

Hadis ini menegaskan bahwa kecintaan terhadap sesama apapun latar
belakangnya adalah bagian dari iman. Dalam konteks kebangsaan,
toleransi adalah fondasi untuk hidup bersama dalam damai. Kurikulum
Cinta menanamkan cinta tanah air dan cinta terhadap keberagaman
sebagai bekal untuk membangun masa depan Indonesia yang adil, makmur,
dan bermartabat dalam era global.

Membumikan toleransi melalui Kurikulum Cinta bukan sekadar pilihan,
melainkan keniscayaan di tengah arus perpecahan dan intoleransi. Nilai
kasih sayang yang ditanamkan dalam kurikulum dapat menjadi fondasi
kuat untuk membentuk masyarakat yang harmonis dan saling menghargai.

Beberapa tugas kita sebagai insan Pendidik diantaranya: 1) Terapkan
pembelajaran kontekstual berbasis nilai-nilai kemanusiaan; 2) Dorong
integrasi antara P5PRA, ekoteologi, dan Kurikulum Cinta dalam setiap
level pembelajaran; 3) Jadikan sekolah sebagai laboratorium toleransi
dan cinta kasih.

Semoga tulisan ini menjadi pelecut semangat untuk menjadikan
pendidikan sebagai ladang cinta, bukan ajang perbedaan. Karena cinta
yang tulus, sebagaimana cinta Tuhan kepada makhluk-Nya, selalu
mengandung toleransi dan penghargaan atas keberagaman. Wallahu a’lam
bis shawab.