Sekolah Damai Solusi Selamatkan Satuan Pendidikan Dari Intoleransi,
Radikalisme, dan Terorisme

Bandung – Program Sekolah Damai Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme  (BNPT) yang dilaksanakan di SMK Negeri 3 Bandung dengan
tema Pelajar Cerdas Cinta Damai, Tolak Intoleransi, Bullying dan
Kekerasan dibagi menjadi dua yaitu workshop guru dan workshop siswa.

Hari pertama workshop guru yang diikuti oleh 150 guru dari 11
perwakilan sekolah SMA dan SMK Negeri di Kota Bandung menghadirkan
beberapa narasumber yaitu Tokoh Muda Muhammadiyah,  Mohammad Abdullah
Darraz, Mitra Deradikalisasi, Kiki Muhammad Iqbal, Kepala Bimbingan
dan Konseling Islam UIN Sunan Gunung Djati, Dr. Dudy Imanuddin
Effendi.

Dalam paparannya, Darraz menekankan bahwa  radikal, intoleran,
terorisme tidak identik dengan satu agama dan tidak terafiliasi pada
satu ajaran agama apapun.

Menurutnya kelompok radikal itu menyalahgunakan tafsir keagamaan yang
mengatasnamakan Islam, dan harus dijelaskan bahwa mereka tidak
mewakili Islam itu sendiri.

Lebih lanjut Darraz menekankan bahwa virus ideologi ini sudah masuk ke
berbagai sektor publik, misalnya ke BUMN, TNI, aparat pemerintahan,
PNS, dan saat ini yang menjadi concern adalah dunia pendidikan.

“Satuan pendidikan negeri bagi mereka dianggap sebagai lahan yang tak
bertuan karena dilihat sebagai lahan yang tidak mempunyai ideologi
yang jelas. Ada guru-guru yang harusnya menanamkan nilai Pancasila,
tetapi di kelas malah sebaliknya. Hal ini berdasar survei yang diambil
dari data Puslitjak Kemdikbud RI (2017)”, ungkap Darraz.

Karena itu menurutnya, Sekolah Damai BNPT dihadirkan untuk menjadi
program pencegahan, bukan menjadi penuduhan.

“Dan fungsi pencegahan itu lebih berat, terutama bagi mereka yang
sudah terpapar. Jadi sekolah harusnya tidak perlu merasa tertuduh
Ketika kegiatan Sekolah Damai diadakan di sekolahnya karena program
ini pada dasarnya adalah fungsi koordinasi pencegahan di satuan
pendidikan”, ucapnya.

Sementara itu Kepala Bimbingan dan Konseling Islam UIN Sunan Gunung Djati,

Dr. Dudy Imanuddin Effendi memaparkan tiga dosa pendidikan adalah
intoleransi, kekerasan, dan bullying yang menghambat pendidikan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan itu sendiri.

Menurutnya untuk memahami 3 dosa itu, kita hanya berenti di asumsi,
sehingga setiap yang ada pada memori adalah sesuatu yang tidak benar
secara fakta.

Lebih lanjut Dudy menungungkapkan terdapat dua bias kognitif yang
menjangkiti anak didik.

“Yaitu egocentric memory, kecenderungan untuk “melupakan” bukti dan
informasi yang tidak mendukung pendapat kita dan “mengingat” bukti dan
informasi yang mendukung. Kedua egocentric myopia, di mana
kecencerungan alamiah untuk berpikir “absolutist” dalam sudut pandang
yang sempit,” jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama Mitra Deradikalisasi Kiki Mohammad Iqbal
membagikan kisahnya kepada para guru di mana dirinya terpapar ketika
berada di Indonesia dan bergabung dengan NII (Negara Islam Indonesia)
yang kemudian bersekolah di Timur Tengah tepatnya di Syria kemudian ke
Jordan.

Pria yang pernah bergabung dengan kelompok JAT pimpinan Abu Bakar
Ba’asyir ini menyampaikan bahwa dirinya pernah terpapar paham radikal
kelas 2 dan 3 SMA.

“Artinya, pemahaman ini sangat bisa masuk ke wilayah institusi
pendidikan”, tambahnya.

Pria yang pernah ditangkap Densus 88 karena tersangkut tidakan
terorisme berupa pelatihan bahan peledak (kasus bom Cibiru) ini
mengungkapkan beberapa penyebab adanya radikalisme.

Lemahnya penegakkan hukum, rendahnya pendidikan dan lapangan kerja,
lemahnya pemahaman ideologi Pancasila, kurangnya dialog antar umat
beragama, kurangnya pemahaman agama, ketidakpuasan terhadap
pemerintah, kesenjangan ekonomi.

“Dari penyebab-penyebab itu, guru dapat menguatkan dalam level wawasan
Pancasila di sekolah,” ujarnya.

Dirinya mengungkap sikap radikalisme pada siswa dapat muncul dalam
berbagai bentuk yaitu menolak untuk mempelajari atau menghormati
pendapat orang lain yang berbeda dengan pandangan pribadinya.

Tak hanya itu, menunjukkan rasa tidak puas terhadap sistem pendidikan
dan pemerintah yang ada dan menyebarkan, mengajak, mendukung temannya
bergabung dalam paham ekstrem merupakan bibit radikalisme yang
berkembang di sekolah.

“Bullying teman sekolah yang dianggap berbeda serta melakukan tindakan
kekerasa atas nama agama atau ideologi, hal-hal demikian harus kita
hindari dari para murid, tutupnya.