PKM Universitas Brawijaya Gelar Seminar “Pendidikan Dalam
Bayang-bayang Radikalisme

Malang – Mahasiswa Universitas Brawijaya (PKM UB) melalui Center for
Caracter and Diversity Studies (CCDS) Universitas Brawijaya menggelar
seminar bertajuk “International Talks: Pendidikan dalam Bayang-bayang
Radikalisme”, Selasa (12/6/2024) di Gazebo Raden Wijaya UB.

Hadir sebagai pembicara kunci Mun’in Sirry, Assistant Professor of
Theology Universtiy of Notre Dame, sekaligus penulis buku Pendidikan
dan Radikalisme: Data dan Teori Memahami Intoleransi Beragama di
Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, juga hadir sebagai penanggap Kepala UPT.
Pengembangan Kepribadian Mahasiswa (PKM) UB, Mohamad Anas.

Dalam paparannya, Anas memberikan beberapa catatan kritis terhadap
hasil riset Mun’im dalam buku tersebut. Pertama, terkait teori
konversi. Melalui teori konversi dikatakan Anas, Mun’im mampu
memberikan peta jalan bagaimana bisa memahami mengapa orang menjadi
radikal dan faktor apa saja yang memungkinkan radikalisasi itu
berlangsung. Kedua, mungkin ada perbedaan nilai menyangkut standar
intoleransi.

“Apakah ketika seorang muslim misalnya, tidak membolehkan ucapan Natal
itu sudah termasuk perbuatan intoleran. Apakah penilaian Mun’im tidak
terlalu berlebihan soal tersebut. Ketiga, apakah cukup untuk mengatasi
radikalisme dengan menyediakan alternatif kajian keagamaan. Mengingat
dalam temuan Mun’im sendiri, faktor utama penyebab orang menjadi
radikal ternyata bukan karena pemahaman keagamaan, namun karena ikatan
pertemanan dan pengalaman traumatik,” katanya

Anas menambahkan, salah satu konsep yang sangat menarik dari Mun’im
terkait radikalisisasi adalah istilah ‘radikal ogah-ogahan’, bahwa ada
orang setengah hati menjadi radikal. Karenanya orang tersebut kadang
bisa bertobat dengan sendirinya, terutama ketika menyadari bahwa
menjadi radikal itu ternyata sulit, banyak tuntutannya.

Merespon catatan kritis dari Anas, Mun’im yang merupakan pria
kelahiran Madura tersebut memaparkan bahwa buku yang ia tulis
merupakan upaya untuk menghadirkan diskursus teoritik mengenai
fenomena radikalisme dan intoleransi di sekolah tingkat menengah atas
dan beberapa perguruan tinggi di Indonesia.

Hal itu dia lakukan karena banyak data yang tersedia terkait
radikalisme di Indonesia, namun sedikit sekali akademisi tanah air
yang mampu memaparkannya dengan kerangka konseptual yang memadai.

“Patut disayangkan banyak hal-hal baru di Indonesia yang orang-orang
Barat perlu tahu seperti soal radikalisme, namun hasil penelitian yang
bersifat lokal itu hanya bisa dibaca di Indonesia, tidak diletakkan
dalam kerangka yang lebih luas,” kata Mun’im.

Lebih jauh Mun’im menjelaskan bahwa kita perlu berhati-hati dalam
memahami fenonema radikalisme, karena karakter radikalisme itu sangat
beragam. Bahkan saking beragamnya, kita tidak akan mungkin mampu
mendefinisikan istilah radikalisme/radikal secara tuntas.

Terkait soal ucapan Natal, Mun’im menjelaskan mengapa hal itu termasuk
bagian sikap intoleran. Menurutnya ada pandangan di kalangan muslim
bahwat toleransi terkait akidah adalah haram.

Dan mengucapkan Natal dianggap bagian dari mengafirmasi akidah kristen
yang oleh sebagian orang Islam lekat dengan syirik. Padahal, kata
Mun’im Natal itu bukan hal penting dari teologi kristen.

“Yesus itu tidak lahir bulan 25 desember namun bulan maret, sehingga
Natal bukan bagian dari akidah kristen. Orang-orang itu tidak paham
apa yang menjadi akidahnya agama lain akibat ketidaktahuan mereka,”
kata Mun’im.

Di akhir paparannya, Mun’im mengatakan bahwa sikap radikal dalam
fenomenal riil sehari-hari juga muncul karena faktor ketidaktahuan yg
disebabkan minimnya interaksi dengan orang lain yang memiliki
identitas berbeda. Meskipun indonesia dikenal dengan negara yang
plural, banyak yang tidak pernah bertemu/berteman dengan yang berbeda
keyakinan. Ketidaktahuan kita adalah sumber kecurigaan. Semakin kita
tertutup maka kecurigaan akan semakin besar, sedangkan orang yang
semakin sering berinteraksi dengan orang yang berbeda maka rasa
toleran/keterbukaannya semakin tinggi. Di sinilah interaksi itu
penting.

“Kecurigaan itu tidak berkembang ketika kita tumbuh berinteraksi,” tuturnya.

Kehadiran Mun’im di UB, rupanya cukup menarik antusiasme peserta
hingga memenuhi ruang gazebo yang disetting duduk lesehan. Bahkan
peserta rela mengikuti acara sampai selesai meski berlangsung dari
pukul 19.00 sampai 22.00 WIB. Ketertarikan itu juga terlihat di kanal
Youtube UPK PKM, penuh dengan peserta yang menyaksikan secara daring
acara tersebut.