Guru Wajib Pandai-Pandai Identifikasi Gejala Intoleransi dan
Radikalisme di Sekolah

Semarang – Para guru atau pendidik wajib pandai-pandai identifikasi
gejala intoleransi dan radikalisme di lingkungan sekolah. Bila deteksi
dini berjalan dengan baik, maka pencegahan intoleransi, radikalisme,
dan terorisme di lingkungan sekolah akan berhasil.

Hal itu dikatakan oleh Mohammad Abdullah Darraz, MA, M.Ud, pakar
pendidikan dan Dosen Uhamka saat menjadi narasumber \pelatihan guru
pada kegiatan “Sekolah Damai” di SMAN 3 Semarang, Senin (20/5/2024).
Menurutnya, infiltrasi radikalisme di sekolah biasanya terjadi karena
faktor eksternal sekolah. Oleh karena itu bagaimana sekolah dapat
memperkuat ketahanan (resiliensi) warga sekolah.

“Kuncinya identifikasi gejala intoleransi, radikalisme di sekolah dan
penguatan integrasi nilai-nilai positif Pancasila, kebinekaan,
tolerasi, moderasi beragamadalam kebijakan internal sekolah, kegiatan
intra dan kokurikuler, ekstrakurikuler, pembiasaan, dan kemitraan,”
jelas Darraz.

Lebih lanjut, Darraz mengungkapkan hasil riset terakhir Badan Nasioal
Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan bahwa indeks potensi
radikalisme di kalangan Generasi Z lebih tinggi daripadai generasi
senior. Selain Generasi Z, kelompok perempuan juga lebih militan
dibandingkan laki-laki. Salah satunya kasus bom Surabaya dimana satu
keluarga yang dimotivasi ibu dan itu menjadi kasus satu-satunya di
dunia.

“Fenomena itu salah satunya karena pola penyebaran radikal terorisme
banyak dilakukan melalui dunia maya. Ini jadi konsen kita semua
bagaimana menyelematkan generasi muda kita, teurtama gen z karena
mereka masih labil,” tukasnya,

Menurutnya, berkembangnya penetrasi radikalisme di institusi
pendidikan, khususnya institusi pendidikan umum (SMA, PT, baik negeri
maupun swasta sangat tinggi. Pasalnya, Proses radikalisasi telah
dilakukan sejak usia pelajar di tingkat SMA, bahkan satuan pendidikan
dibawahnya.

“SMA dianggap sebagai “lahan tak bertuan” bagi berbagai gerakan Islam
radikal untuk melakukan penetrasinya di kalangan anak muda,”
ungkapnya.

Darraz juga memaparkan kenapa radikalisme menyasar satuan pendidikan.
Menurutnya, satuan pendidikan umum negeri merupakan ruang terbuka bagi
penyemaian ideologi radikal, merupakan lahan kosong di tengah abainya
pemerintah terhadap penanaman ideologi negara, terutama Pancasila.

Kedua, Usia remaja dan anak satuan pendidikan setingkat SMU menjadi
wahana pembentukan watak radikal pada kalangan generasi muda. Ketiga,
Diskursus keagamaan di sekolah umum negeri (Baik SMU maupun SMK)
cenderung lebih lemah dibanding dengan satuan pendidikan-satuan
pendidikan keagamaan seperti pesantren atau madrasah. Hal ini
menyebabkan pemahaman tentang ajaran Islam yang utuh jauh dari
pengetahuan pelajar di SMU Negeri.