Film Dokumenter ‘Pilihan’ Kisah Pekerja Migran Wanita Terpapar Jaringan Teroris

Jakarta – Seorang wanita asal Kendal, Jawa Tengah, bernama Listyowati
terjerat kasus terorisme saat menjadi pekerja migran di Hong Kong.
Berawal dari kepedulian terhadap anak-anak korban perang di Timur
Tengah di media sosial, Listyowati tanpa sadar ikut masuk dalam
jariangan kelompok teroris global, ISIS.

Kisah Listyowati itu tergambar dalam film dokumenter berjulul
“Pilihan” produksi Ruang Migran. Ia bercerita suatu hari di bulan
November 2020, sepulang berbelanja bahan baku untuk usaha kebab dan
burger, Listyowati pun membersihkan diri. Namun tak lama seseorang
menggedor-gedor pintu kamar mandi.

Semula dia mengira yang melakukan itu ibunya karena ada orang yang
menagih utang. Dengan sedikit sewot, dia membuka pintu sambil nyerocos
bahwa dirinya akan segera melunasi utangnya.

Lis, begitu sapaannya, baru sadar kalau tamunya ada petugas densus
(detasemen khusus antiterorisme) saat disodorkan surat penangkapan.
“Saya dituduh terlibat pendanaan terorisme,” kata perempuan kelahiran
6 Oktober 1989 itu saat berbincang dengan detik.com usai pemutaran
film dokumenter ‘Pilihan’ di sebuah kafe di kawasan Blok A, Jakarta
Selatan, Kamis (18/4/2024) dikutip dari laman detikcom.

Perempuan asal Sendangkulon, Kendal – Jawa Tengah itu pernah bekerja
di Hong Kong selama empat tahun, 2016 – 2020. Dia menjadi salah
seorang pengisi film Pilihan yang disutradarai Ridho Dwi Ristiyanto.
Selain Lis, ada Masyitoh (Mosqoitu) yang telah 25 tahun bekerja di
Singapura, dan Ani Ema Susanti, mantan pekerja di Hong Kong yang
menjadi produser film tersebut.

Film dokumenter ini diproduksi oleh Ruang Migran, komunitas yang
dimotori oleh Noor Huda, Ph.D, mantan wartawan Washington Post yang
kini sedang menjadi rekanan peneliti di Nanyang Technological
University, Singapura. Turut mengulas film tersebut dan sepak terjang
kelompok-kelompok teroris di media sosial, Direktur Lembaga
Intelligence Nasional Secutiry Studies (INSS) Dr Stepi Anriani.

Sebelum ke Hong Kong, Lis pernah bekerja di Singapura selama dua tahun
untuk membantu perekonomian keluarga. Maklum, suaminya cuma pekerja
serabutan.

Sial, suaminya justru jadi manja. Bahkan ketika Lis berhenti bekerja
dan kembali ke Kendal dia justru kerap menerima kekerasan.

Setelah bercerai, untuk menafkahi anak semata wayangnya perempuan
lulusan SMP di Semarang itu akhirnya memilih kembali bekerja di luar
negeri. Kali ini Hong Kong menjadi pilihannya. Bila di Singapura dia
bertugas khusus merawat anak majikannya yang masih SD dan seorang
balita, sebaliknya saat di Hong Kong dia merawat orang tua yang sudah
uzur dan sakit-sakitan. “Gajinya Rp 8 juta dan punya banyak waktu
istirahat,” kata Lis.

Saat beristirahat, dia antara lain memanfaatkannya untuk berselancar
di media sosial, seperti Youtube dan Facebook. Dari situ dia menemukan
postingan tentang kehidupan anak-anak yang menjadi korban perang di
Timur Tengah. Dia ikut trenyuh dan terpikat. Dia pun bergabung ke
sebuah grup di Facebook yang belakangan diketahui anggotanya merupakan
simpatisan ISIS. Di grup itu, pun Lis intens berkomunikasi dengan
seorang pria bernama Arif yang mukim di Kalimantan Barat.

Lelaki itulah yang terus memotivasinya untuk ikut menyelamatkan
anak-anak korban konflik dengan iming-iming syurga bila kelak telah
meninggal dunia. Kadung terpikat, Lis pun kerap mengirimkan uang
kepada Arif hingga totalnya mencapai jutaan rupiah.

Terakhir Lis mentransfer uang Rp 4 juta untuk modal Arif berjualan
martabak. Keduanya juga sepakat akan menikah pada akhir 2020.
Ternyata, uang kiriman dari Lis disalurkan Arif untuk aktivitas Jamaah
Ansharut Daulah (JAD), kelompok teror yang berafiliasi dengan ISIS.
Dia ditangkap pada 25 Juli 2020. Lis, yang kembali ke Kendal pada 5
Agustus 2020 ditangkap pada November 2020.

Ani Ema Susanti, mantan pekerja migran di Hong Kong yang kini menjadi
sutradara film dokumenter Foto: Triono WS

“Saya dihukum 3 tahun, baru bebas 14 November 2023 setelah mendapatkan
beberapa kali remisi. Saya tak menyangka bisa bebas dari Lapas
Perempuan Semarang, saya langsung sujud syukur,” ujarnya mengenang
dengan mata berkaca-kaca.

Lis adalah contoh tentang rentannya kalangan pekerja migran Indonesia
di mancanegara oleh paparan berbagai informasi, termasuk propaganda
terorisme, lewat media sosial. Tanpa dukungan literasi yang memadai,
mereka mudah terpedaya dan terjerumus terutama oleh pesan-pesan
memikat dari jaringan terorisme. Narasi dan propaganda ekstremis
berkembang dan secara intensif menggunakan segala jenis alat
komunikasi digital.

“Ini cukup membahayakan karena yang menjadi incaran adalah diaspora
dan pekerja migran. Ruang Migran (RUMI) bersama teman-teman komunitas
migran membuat film untuk literasi bagi para pekerja migran,” ujar
Noor Huda.

Sepanjang 2015-2017, berdasarkan data Institute for Policy Analysis of
Conflict (IPAC), ada 43 WNI di Hong Kong terpapar paham radikal teror.
Data Kementerian Luar Negeri Indonesia pun mencatat ada 430 WNI yang
dideportasi dari Turki karena akan bergabung kelompok radikal teror di
Suriah.

Berbeda dengan Listyowati, di film berdurasi 21 menit 46 detik
tersebut juga tampil Masyitoh. Perempuan asal Malang, Jawa Timur, itu
telah menjadi pekerja migran di Singapura selama 25 tahun. Dua minggu
pertama majikannya menguji keterampilannya bekerja dan kemampuannya
berbahasa Inggris.

Memasuki minggu ketiga majikannya memberikan les Bahasa Inggris. Dia
mengancam kalau Masyitoh tak bisa akan dipulangkan ke Indonesia. “Aku
jadi berusaha mati-matian untuk belajar daripada dipulangkan dari situ
karena dari nggak bisa jadi bisa gitu”, kenang Masyitoh yang oleh
majikannya dipanggil Mosqoito.

Bertahun kemudian, Masyitoh juga mulai rajin mengikuti kursus-kursus,
ambil sekolah paket C (setara SMU), dan terakhir mengambil kuliah
kelas karyawan di bidang ekonomi. Tak cuma itu, dengan kecerdasan dan
kreativitasnya, dia memanfaatkan internet dan tren media sosial untuk
berwirausaha dengan berjualan online.