Serang – Hari kedua sosialisasi program Sekolah Damai yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bagi pelajar tingkat SMA se kota Serang, Banten digelar di lapangan SMA Negeri 3 Serang, Selasa (30/4/2024), Acara yang diikuti lebih dari 500 siswa dari 9 sekolah SMA sederajat ini mengambil tema “Pelajar Cerdas, Cinta Damai. Tolak Intoleransi, Bullying dan Kekerasan”.
Dipandu bersama Duta Damai Dunia Maya Regional Banten, sosialisasi bagi siswa ini meghadirkan tiga narasumber yaitu Redaktur Pelaksana Pusat Media Damai (Redpel PMD) BNPT RI, Abdul Malik MA, anggota Duta Damai Dunia Maya Regional Banten, Pudji Tri, dan Mitra Deradikalisasi BNPT (mantan napi terorisme), Adi Jihadi.
Abdul Malik mengawali materinya tentang bahaya intoleransi. Menurutnya, intoleransi di lingkungan sekolah dapat mengambil berbagai bentuk dan memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental siswa, lingkungan belajar, serta pencapaian akademik para siswa.
“Intoleransi sering kali berkaitan dengan rasisme, seksisme, diskriminasi agama, atau bentuk diskriminasi lainnya,” ujarnya.
Dirinya memberikan contoh kasus-kasus intoleransi yag pernah terjadi di Indonesia seperti yang terjadi di Bali pada tahun 2014, terjadi kasus pelarangan penggunaan hijab di beberapa sekolah. Lalu di Yogyakarta juga pernah terjadi yaitu kepala sekolah SMAN 8 mewajibkan siswa untuk mengikuti kemah di Hari Paskah, yang menimbulkan protes dari guru agama Katolik dan Kristen.
Lalu di awal tahun 2020 ada juga kasus intoleransi lainnya dimana seorang siswa aktivis Rohis (Kerohanian Islam) di SMA 1 Gemolong, Sragen, merundung siswi lainnya karena tidak berhijab.
“Dampak daripada intoleransi ini dapat menyebabkan siswa merasa tidak aman dan tidak nyaman di lingkungan sekolah. Padahal seharusnya sekolah ini menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk menimba ilmu bagi para siswa,” ujar Malik.
Lebih lanjut Abdul Malik membeberkan ciri awal orang terpapar paham menyimpang yang bisa ditandai dengan gaya berpakaiannya berubah drastic, menyalahkan orangtuanya dan masyarakat sekitar dan bahkan hilang kabar.
Kemudian dirinya juga memberikan kategori orang yang mudah menyerap paham menyimpang, diantaranya seperti sedang galau dan sedang mencari jati diri, kekurangan kasih saying serta banyak menyisihkan waktu di media sosial.
“Lalu ciri orang yang menyampaikan narasi paham yang menyimpang daiantaranya seperti senang mengadu membawa bawa agama, mereka suka mempertentangkan ideologi Pancasila dengan ajaran agama dan memutar balikkan sejarah bangsa ini,” katanya.
Untuk itu menurutnya, perlu adanya strategi pencegahan intoleransi agar tidak terjadi di lingkungan sekolah seperti meningkatkan pemahaman siswa tentang keragaman budaya, agama, dan latar belakang dari budaya tersebut.
“Pencegahan intoleransi membutuhkan kerja sama dari banyak pihak, termasuk orang tua, pendidik, dan siswa itu sendiri. Dengan upaya bersama, kita dapat menciptakan lingkungan sekolah yang lebih inklusif dan menghargai perbedaan,” ujanrya.
Sementara itu narasumber kedua yaitu anggota Duta Damai Dunia Maya Banten, Pudji Tri yang juga berprofesi sebagai guru SD Negeri memberikan materi tentang bullying. Dimana bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang dengan tujuan menyakiti atau mengintimidasi orang lain.
“Di lingkungan sekolah SMA, bullying dapat terjadi baik secara fisik, verbal, maupun psikologis,” ujar Pudji.
Dirinya membagi beberapa kategori jenis-jenis bullying, dimana ada bullying fisik seperti Memukul, menendang, atau mendorong. Kemudian bullying verbal seperti menghina, mengejek, atau mengancam. Lalu ada bullying psikologis seperti Menyebar rumor, mengucilkan, atau memanipulasi hubungan sosial. Dan yang terakhir yaitu cyberbullying seperti Intimidasi atau pelecehan melalui media sosial atau internet.
“Dampak dari bullying ini bagi korban tentunya bisa sangat serius, termasuk gangguan emosional seperti depresi atau kecemasan dan Penurunan prestasi akademik. Tentunya hal ini jangan sampai terjadi di lingkungan sekolah,” ujarnya
Sementara itu mantan napi terorisme Adi Jihadi yang juga dihadirkan sebagai narasumber berbicara mengenai bahaya intoleransi, radikalisme dan terorisme. Menurutnya sekolah sering kali berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menerima perbedaan, baik itu agama, suku, ras, atau pandangan politik.
“Tentunya hal ini dapat memicu diskriminasi dan bahkan kekerasan di antara sesama siswa itu sendiri,” ujar Adi yang pernah terlibat dalam penadaan terorisme.
Dikatakan pria yang pernah mendekam di penjara Nusa Kabangann selama 4 tahun ini mengatakan bahwa isu intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang merajalela tidak hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal seperti agama, ekonomi, atau pendidikan, tetapi juga faktor psikologis.
“Orang yang bingung dengan identitas mereka, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, religius atau nonreligius, bisa dengan mudah menjadi fanatik dan terlibat dalam organisasi radikal. Untuk itu saya meminta kalian untuk mewaspadai seperti apa yang sudah dikatakan naasumber sebelumnya jika menemukan ciri ciri tersebut di lingkungan sekitar,” ujar Adi mengakhiri.