Cegah Intoleransi di Sekolah, Pendidik Harus Dampingi Kegiatan Ekstra
Kurikuler dan Rohis

Semarang – Para pendidik atau guru harus mendampingi dan mengawasi
semua kegiatan ekstra kurikuler (ekskul) dan rohani Islam (Rohis) di
sekolah. Itu penting sebagai langkah pencegahan intoleransi dan
kekerasan. Pasalnya, kegiatan-kegiatan tersebut menjadi incaran
kelompok kekerasan untuk menyebarkan pahamnya kepada generasi muda.

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik
Indonesia (BNPT RI) Prof. Dr. Irfan Idris, MAg, mengatakan, kalau
intra kurikuler mungkin selalu dalam pengawasan semua tenaga pendidik.
Tapi kalau ekskul anak-anak didik biasanya suka berkreasi seperti
camping, mendaki, musik dan berbagai kegiatan di luar jam sekolah.
Masalahnya kelompok radikal terorisme itu menyasar semua kegiatan itu
karena mereka mau tahu bagaimana anak muda berkumpul, saat itulah
mereka masuk.

“Jadi ekskul tidak ada masalah yang penting pendampingan, pembekalan,
dan peringatan.

Ada kegiatan eksklu tetapi kalau tidak didampingi disitu berbahayanya
yang namanya ekskul,” ujar Irfan Idris saat memberikan pembengkalan
kegiatan “Sekolah Damai” yang dihadiri kurang lebih 100 guru dari
berbagai SMA di Kota Semarang. Kegiatan itu berlangsung di SMAN 3
Semarang, Senin (20/5/2024).

Begitu juga kegiatan rohis, menurutnya, rohis tidak ada masalah bila
guru atau wakil kepala sekolah bidang kesiswaan mendampingi, yang
masalah bila kemudian unsur pimpinan sekolah membiarkan orang luar
masuk.

“Di Jawa Tengah ini menurut informasi dari Kakanwil Kemendikbudristek
sudah ada kebijakan bahwa kegiatan rohis harus diajar oleh guru
sendiri, bukan dari luar,” jelasnya.

Lebih lanjut, Irfan mengatakan bahwa sebenarnya tidak masalah bila
orang luar masuk, tapi masalahnya bila orang tersebut sudah terpapar
radikal terorisme. Mereka biasanya mengatasnamakan senior atau,
sementara anak didik senang dengan kedatangan senior untuk mencari
pengalaman, tapi dibalik itu mereka akan dipapar paham-paham
intoleransi dan kekerasan.

Terkait kegiatan “Sekolah Damai”, ungkap Irfan, kegiatan ini dibentuk
karena ada fenomena yang berkembang di tingkat pelajar dalam hal
intoleransi. Disinilah kehadiran guru, orang tura, dan lingkungan
dibutuhkan untuk membentuk karakter anak didik.

“ Definisi Sekolah Damai, merupakan gagasan dan upaya dalam
mengembangkan budaya damai melalui kebijakan dan praktik toleransi
yang melibatkan warga sekolah,” kata Irfan.

Ia juga menjelaskan terkait indator sekolah damai antara lain tidak
ada bullying, intoleran, tidak ada kelompok eksklusif. Itu diantaranya
yang menajdi ukuran bagaiamana bisa membentuk sebuah sekolah damai.

“SMAN 3 Semarang dan sekolah lain pasti sudah memiliki ukuran dan
program yang mendukung terselenggaranya sekolah damai,” tuturnya.

Ia juga menerangkan terkait perbedaan di Indonesia. Menurutnya
perbedaan itu adalah kekuatan, tinggal bagaimana bisa mengelola
menjadi kekuatan positif. Apalagi Indonesia adalah negara Berbhinneka
Tunggal Ika.