Teroris Versus kacang Rebus

Judul ini sekilas tampak lucu, unik dan nyentrik karena menyandingkan dua hal yang sama sekali berbeda. Di satu sisi, terorisme disesaki dengan nuansa kekerasan, sementara di sisi lain kacang rebus hanyalah bagian dari cemilan. Namun believe it or not, dua hal tersebut tampak bersanding mesra di antara menggunungnya fenomena sosial masyarakat, khususnya mereka yang hilir mudik memadati Jakarta. Peristiwa serangan teror di Thamrin beberapa waktu lalu menunjukkan hubungan mesra keduanya.

Di laman-laman pemberitaan yang ada, kita semua menyaksikan betapa kecang rebus berhasil mencuri perhatian, cemilan yang sedap disantap saat hujan itu berkamuflase menjadi refleksi dari kekuatan dan keyakinan masyarakat tentang terorisme yang pasti dapat dikalahkan. Di tengah lalu-lalangnya desingan peluru yang dimuntahkan baik oleh senjata aparat maupun penjahat, kacang rebus mendekap hangat semangat aparat sehingga para begundal itu dapat dilumpuhkan secara sangat cepat.

Kacang rebus memang tidak memainkan peran utama dalam upaya pelumpuhan terorisme, namun melalui tangan seorang laki-laki paruh baya, kacang rebus berhasil memompa semangat para aparat untuk tidak pernah takut, apalagi mundur, dalam menghadapi para teroris.

Dalam kebiasaan masyarakat Indonesia pada umumnya, kacang rebus merupakan salah satu teman terbaik untuk menikmati tontonan, karenanya tidak mengherankan jika di banyak pagelaran atau tontonan yang ada, masyarakat Indonesia selalu memilih kacang rebus sebagai teman terbaiknya. Dalam tontonan, kita ‘diculik’ sementara dari kehidupan nyata untuk meresapi dan menikmati sajian yang diberikan. Kita seolah diajak untuk mengerti bahwa apapun yang terjadi, tontonan ini pasti akan berakhir.

Mungkin demikian pula lah perang yang sedang dimainkan kacang rebus, ia meyakinkan aparat dan kita semua untuk tetap tenang dan yakni bahwa aksi teroris bengis ini akan segera berakhir.

Sikap tenang namun waspada ditunjukkan langsung oleh si empu-nya kacang rebus, laki-laki paruh baya itu tetap tenang di samping gerobak kacangnya, ia tentu tahu teroris sedang menembak secara membabi buta, ia juga tahu bahwa ia bisa menjadi salah satu korbannya. Namun ia tetap tenang sambil terus membungkus kacang rebus. Ia tidak sendirian, masyarakat yang lain juga turut berdiri berjejal di samping gerobak tuanya, mereka pun kompak memberi dukungan kepada aparat, tentu saja sambil menikmati kacang rebus…

Kacang rebus tentu tidak sendirian dalam mengawal pemberantasan teroris di Thamrin waktu itu, di lapangan kita juga menyaksikan ada sate, pedagang koran, tukang ojek, bahkan para hippy penggemar selfie pun tidak ketinggalan merapatkan barisan untuk menjegal teroris yang sudah sok merasa jadi Tuhan. Seorang perempuan bahkan tampak begitu santainya melenggang ke tengah arena mendekati seorang teroris yang menenteng senjata, anda tahu apa yang ia lakukan kemudian? Foto selfie!

Kita menyaksikan betapa masyarakat Indonesia terlalu kuat untuk ditakut-takuti para berandalan itu, kita semua juga terlalu tangguh untuk menghadapi ancaman-ancaman rapuh. Terorisme tentu musuh kita bersama, namun kekompakan dan kekuatan yang kita tunjukkan di Thamrin beberapa waktu yang lalu semakin meyakinkan kita bahwa terorisme dapat segera kita musnahkan.

Sejarah memang telah menunjukan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah orang-orang yang gagah berani. Jangankan untuk melawan teroris yang pengecut, melawan dedemit paling serem pun kita tidak pernah takut. Benih inilah yang diwarisi oleh anak cucunya, kita semua. Kita telah membuktikan bahwa kita tidak pernah takut untuk melawan terorisme. Apa yang kita lakukan sudah benar, ayo kita lanjutkan!