Keterlibatan usia muda pada gerakan-gerakan radikal atau bahkan teroris sejatinya merupakan tamparan yang sangat keras bagi institusi sosial yang terkecil, keluarga. Keluarga yang seharusnya tempat pendidikan yang paling mendasar dan perlindungan anak berubah menjadi ruang asing dan sedemikian hingga mereka mencari ruang-ruang lain.
Terlebih lagi usia belia adalah episode petualangan mencari bentuk diri. Bukan sebuah kebetulan jika anak-anak usia belia ini bertemu dengan para radikalis dan teroris yang menyamar menjadi mentor-mentor agama.
Menurut Dosen UIN Syarif Hidayatullah, A’lai Najib, anak-anak belia yang terlibat dalam radikalisme atau terorisme hidup dalam sebuah keluarga yang fungsi-fungsinya tidak utuh kembali.
“Misalnya begini, ada keluarga yang memang orang tuanya sudah sangat sibuk dan tidak punya kontrol sama sekali. Fungi sebagai keluarga maksud saya seperti ini, ada percakapan antara orang tua dan anak. Percakapan itu bisa lewat media apa saja” ungkap A’lai Najib.
Orang tua terlalu sibuk dengan kesehariannya sehingga tidak memiliki koneksi dan kontrol lagi terhadap anak-anak mereka. Konsekuansinya percakapan dari hati ke hati pun menjadi nihil. Padahal komunikasi yang terbuka dan tanpa tekanan adalah hal yang sangat dibutuhkan setiap orang terlebih usia-usia muda. [Mh]
Sumber: lazuardibirru