Selain Toni Sumarno dan Najmudin Busro, BNPT juga mengundang Boyke Pribadi (akademisi dari Universitas ultan Agung Tirtayasa) untuk bersama-sama menyebarkan pesan Damailah Indonesia, Bersama Cegah Terorime di Propinsi Banten (20/2) lalu.
Berikut juga adalah petikan wawancara dengan Boyke Pribadi di 89,8 FM Serang radio.
Somad: Apa peran konkret perguruan tinggi selama ini?
Boyke Pribadi (BP): Perguruan tinggi merupakan tempat berkumpulnya mahasiswa. Mahasiwa itu merupakan usia-usia ABG yang mencari identitas. Dan fakta kalau terorisme itu melakukan pendekatan ke usia-usia muda itu. Sehingga kami perguruan tinggi lebih berusaha mengarahkan agar peran-peran seperti lembaga dakwah kampus memberikan materi islam dengan baik dan benar.
Kami sempat kaget juga ketika 3 tahun lalu sempat distigmakan di media massa bahwa Banten sebagai kota teroris. Memang terungkap fakta di Banten Selatan banyak sempat ditemukan tempat pelatihan dan sebagainya. Dan juga distigmakan kalau pesantren juga sama. Kami dari perguruan tinggi di Banten merasa keberatan. Karena terbukti sampai hari ini, masalah terorisme tidak berbicara soal daerah. Dimanapun bisa trejadi juga dan bisa menimpa siapapun. Lintas agama, lintas daerah dsb.
Kami menyambut baik ketika BNPT menyatakan bahwa itu merupakan tugas bersama. Artinya, kami dari perguruan tinggi juga mengamati itu. Dan kalau kita ikuti dari beberapa kajian bahwa mengapa orang terlibat terorisme. Yang menjadi rangking pertama adalah penegakan hukum, berikutnya adalah lapangan kerja dan ketiga adalah pemahaman terhadap Pancasila sebagai ideologi nasional. Dan ketika kami melihat ada masalah ideology, maka kami di kampus seringkali melakukan sosialisasi soal 4 pilar. Bahkan di kementrian pendidikan dan kebudayaan juga ada pendidikan karakter. Artinya dengan pendidikan karakter bagaimana melahirkan mahasiswa sebagai seorang yang memiliki berbagai keunggulan-keunggulan pribadi yang jauh dari sifat merusak. Karena yang kita khawatirkan, bagian dari terorisme yang berbahaya itu adalah bagian yang merusaknya.
Dan dalam pendidikan karakter itu, pendidikan agama disemaikan sebagai nilai-nilai universal, seperti kejujuran, kebaikan dan sebagainya. Dan mungkin karena itulah sekitar 3 tahun lalu, pihak aparat selalu mencari kehidupan aktivis kampus dsb. Alhamdulilllah sampai saat ini di kampus kami di perguruan tinggi Sultan Aung Tirtayasa tidak ditemukan adanya indikasi seperti itu. Jadi kita berusaha keras sebagai bagian dari kerjasama bahu-membahu tadi ada tokoh masyarakat, tokoh agama dan kami sebagai pendidik di kampus berusaha mengarahkan mereka, “carilah ilmu sebaik mungkin”.
Walaupun dikampus itu tempat kebebasan berekspresi, kebebasan akademik dan ideologi dan ideologi memang tidak bisa dihakimi. Tapi dampak dari ideologi itu yang bermasalah. Kalau ideologinya bebas-bebas saja, tapi ketika ideology itu diwujudkan jadi suatu aktifitas. Nah itu yang melanggar ranah hukum di Indonesia. Ini yang kita yakinkan kepada mereka. Silahkan berpikir bebas. Tapi tolong karena kita hidup di negara yang plural, yang multi etnis maka jangan sampai merasa benar sendiri.
Somad: Bagaimana langkah yang harus diperbaikin dalammensinergikan antara BNPT, pemerintah daerah, akademis dsb dalam mencegah terorisme ini?
BP: Nah, yang kita bicarakan seharusnya bukan penyakitnya yang sudah parah. Tapi sebelum itu seperti apa?Kita berbicara terorisme maraknya setelah reformasikan? Itu terjadi ketika kita tidak fokus lagi pada ideologibangsa. Sehingga dengan mudahnya kami memandang yang terjadi adalah peperangan ideologi luar di pekarangan rumah kita. Sebelum reformasi, di Ambon agama Kristen dan islam damai-damai saja. Di Poso pun tidak ada permasalahan. Tapi kemudian setelah reformasi semua orang sibuk mengurus politik. Sehingga lupa soal ketahanan ideologi maka ideologi lain masuk. Sebenarnya perilaku yang terjadi adalah orang yang sakit hati kepada negara-negara besar yang ada di negara lain terjadi peperangannya di kita.
Perguruan tinggi menjadi penting karena mahasiswa merupakan orang-orang kritis. Selama dia melihat hiruk-pikuk ini tidak bisa diselesaikan maka keadilan tidak bisa dirasakan akan membuat mereka berpikir yang macam-macam, Makanya mengapa tema-teman akademisi menjembatani pikiran-pikiran liar yang ada sehingga tidak berwujud menjadi tindakan. Kita bisa melihat bagaimana aksi mahasiswa bakar-bakar ban, jaman dahulu mana ada yang bakar-bakar ban. Ini merupakan bibit-bibit bahwa mereka bisa bertindak lebih keras, tinggal bagaimana bapak-bapak yang dipusat memberikan teladan yang baik. Sehingga ini bukan masalah satu kasus saja, tapi rangkaian kasusnya. Termasuk dari psikolognya. Bangsa ini sedang sakit apa sih? Sehingga orang dengan mudah melampiaskan marahnya dsb. Ditambah kita kehilangan kekuatan untuk mempertahankan kekuatan ideologi bangsa.
Somad: Ketika ideologi dikotakkan, danada UU yang mengautrnya. Apakah perlu ada amandemen?
BP: Sebenarnya tanpa diamandemenpun, jika kita kukuh bahwa kita memiliki UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan bahwa kita hidup plural. Dengan hal-hal tersebut disepakati bukan sekedar jarkoni, banyak jargon tapi tidak bisa melakoni. Memang Pancasila bukan agama, tapi di enagara ini karena terrdiri dari banyak agama sehingga Pancasila dibutuhkan sebagai alat pemersatu. Ini yang sekarang diliupakan banyak orang. Jadi kerja keras Pak Mbai pun akan sulit terwujud jika kita tidak menyepakati ideologibersama ini. Bahwa kita hidup di alam yang berbeda agama, berbeda pandangan, berbeda suku maka kita harus hidup damai. Bagi yang bilang tidak bisa, itu tidak betul. Ada modal sosial, toleransi dan gotong royong yang harus dikembangkan kembali. Maka kami dari kalangan kampus menilai local wisdom harus ditumbuhkembangkan dalam menangkal ideologi asing yang ada saat ini.