Kabar tentang sepak terjang ISIS masih belum hilang dari pemberitaan. Berbagai tingkah polah kelompok teror ini tak pernah lepas dari perhatian media. Kebanyakan dari perhatian tersebut fokus pada ‘agenda kerja’ dan bentuk organisasi, namun jarang pemberitaan yang membahas tentang aktor-aktor dalang dibaliknya.
Termasuk visi misi mereka sebenarnya, kita tentu dapat mudah melihat apa yang mereka lakukan sangat bertentangan dengan agama. Sehingga koar-koar mereka tentang menegakkan perintah Tuhan –namun membolehkan pembunuhan dan penjarahan– sangat mengganggu kewarasan. Tulisan ini berusaha mengulik tentang pihak-pihak luar yang terlibat dalam ‘permainan panas’ ini.
Meskipun ISIS berdiri dan menggila di Timur Tengah, tetapi banyak pengamat yang menyatakan sumber masalahnya justru datang jauh dari negeri-negeri seberang. Anggapan ini bukan tanpa alasan, ada banyak bukti yang menunjukkan ISIS bukan ‘murni’ Arab, ada banyak negara diyakini terlibat.
Jauh sebelum ISIS terbentuk, benih-benih kebencian dan permusuhan telah ditanam banyak pihak yang merasa memiliki kepentingan di daerah tersebut. Amerika tentu menempati urutan pertama di daftar negara-negara luar yang ada dibalik ISIS. Karena berbagai kebijakan luar negeri mereka terbukti menyediakan ruang bagi muncul dan besarnya kelompok radikal ekstrimis, terutama setelah peristiwa penyerangan menara kembar WTC pada 2001 silam. Amerika, melalui G.W Bush, mengeluarkan kebijakan perang melawan terorisme, yang diyakini banyak kalangan hanya sebagai akal-akalan agar bisa mengeruk kekayaan negara-negara lain.
Sebuah laporan terpercaya menunjukkan AS nyatanya memiliki 2 motif utama dibalik dalih akal-akalan berupa ‘perang melawan terorisme’ ini. Pertama, slogan perang melawan terorisme digunakan sebagai agitasi untuk membenarkan bahwa kehadiran militer Amerika di negara-negara konflik itu penting. Amerika yakin tak banyak orang yang mengerti bahwa konflik yang ada di negara-negara tersebut adalah home-made mereka, sehingga mereka merasa sah untuk mengubah suatu negara menjadi semacam neraka.
Kedua, Amerika menggunakan slogan di atas sebagai cara menjaga kepercayaan publik dalam negeri bahwa AS sedang menghadapi ancaman nyata dari para teroris, yang lagi-lagi buatan mereka sendiri. Belakangan publik tahu banyak pula warga Amerika yang menolak kebijakan negerinya untuk terus menerus ikut campur urusan negara lain.
Sejumlah kalangan langsung merujuk pada Israel dan akses terhadap minyak mentah sebagai dua alasan utama dibalik sikap ngeyel Amerika dengan tetap berada di Jazirah Arab. AS merasa perlu melindungi Israel dari dua musuh bebuyutan mereka, kelompok Hizbullah dan Hamas yang mendapat dukungan penuh dari Iran dan Suriah, sekaligus mendapat akses ke minyak mentah dengan tetap berada di Irak dan Suriah. Amerika kemudian ‘menciptakan’ ISIS dengan berbagai kegilaanya sebagai ‘permulaan’ untuk kegilaan-kegilaan yang lebih besar berikutnya, yaitu kegilaan (war on terrorism) yang ‘pura-puranya’ digunakan untuk melawan kegilaan lain (ISIS).
AS nyatanya tampak begitu ‘menikmati’ konflik yang mereka ciptakan di negara tetangga. Sebuah laporan menyebut pemerintah AS mampu meraup pajak hingga 6,6 Trilyun dolar AS dari pencanangan program perang melawan teroris saja. Tentu hal ini tidak sebanding dengan banyaknya jumlah tentara AS yang harus meregang nyawa atau cacat permanen akibat kebijakan ini, namun pemerintah seolah tutup mata dengan hal ini. Mereka terus saja mengirim tentara untuk meramaikan perang yang tak pernah berhenti memakan korban.
Para petinggi militer dan insdustri militer AS dilaporkan meneguk keuntungan finansial paling banyak dari konflik di Timur Tengah. Center for Public Integrity merilis data yang menunjukkan bahwa lebih dari 70 perusahaan AS dan individu telah memenangkan kontrak yang bernilai hingga 27 miliar dolar AS terkait dengan perang di Irak dan Afganistan selama 3 tahun terakhir. Dan hampir 75 persen dari perusahaan tersebut memiliki kaitan langsung dengan para anggota dewan, eksekutif partai politik, dan juga petinggi militer.
AS juga dilaporkan berhasil membuka ‘pasar’ di tengah medan perang di Irak dan Suriah. Akibat perang yang mereka ciptakan banyak negara yang terlibat (atau dilibatkan) membeli senjata kepada negara-negara produsen ‘resmi’. Amerika menempati posisi pertama untuk urusan ini dengan jumlah ekspor senjata mencapai nilai 23,7 miliar dolar AS.
Jumlah ini berada jauh di atas torehan yang mampu diciptakan musuh bebuyutannya, Rusia, yang hanya bertengger pada nilai 10 miliar dolar AS. Dalam konteks perdagangan perlengkapan perang ini, AS dicurigai menjual senjata kepada dua pihak yang bertikai. Hal ini terlihat dari kesamaan jenis senjata yang digunakan baik oleh pasukan oposisi maupun pasukan pemberontak. Beberapa foto yang beredar luas di internet menunjukkan pasukan ISIS menenteng senjata M 16 buatan Amerika.
Departemen pertahanan AS sebenarnya pernah merilis laporan pada 1997 yang menunjukkan korelasi kuat antara serangan AS di luar negeri dengan peningkatan serangan teroris tehadap AS. Berkaca pada fakta di atas, saya sependapat dengan Garikai Chengu yang menukil sebuah adagium terkenal berbunyi The War on Terrorism is Terrorism (Perang melawan terorisme adalah terorisme –yang sesungguhnya-)!