Papua Butuh Negarawan, Bukan Politisi

Hari Selasa (29/1) ini warga Papua akan memilih pemimpinnya. Dan, sejak 5 Januari lalu enam pasang calon, yaitu Noakh Nawipa-Johannes Wob, Menase Roberth Kambu-Blasius Adolf Pakage, Lukas Enembe-Klemen Tinal, Wellington Wenda-Weynand Watory, Alex Hasegem-Marthen Kayoi, serta Habel Melkias Suwae-Yop Kogoya berupaya keras menarik simpati masyarakat dengan aneka janji. Mereka, antara lain, menjanjikan bahwa program Respek yang dimulai oleh mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu akan dilanjutkan.

Sumber kemenangan

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih, Papua, Marinus Yaung, menilai, yang jadi sumber kemenangan calon dalam pemilihan umum kepala daerah di Papua bukan pada kuatnya program, hebatnya rekam jejak, atau perpaduan keduanya. Kemenangan amat dipengaruhi oleh ikatan primordial, hegemoni massa, popularitas, uang, dan kinerja mesin politik, baik partai politik maupun asosiasi.

Ada lagi faktor lain yang turut menentukan kemenangan calon, yaitu dikotomi pantai dan gunung. Dikotomi itu, kata Marinus, kuat memengaruhi.

Mencermati aneka faktor penentu itu, pasangan Lukas-Klemen, kata Marinus, diperkirakan akan memenangi Pilkada Papua. Mesin politik pasangan itu kuat. Selain dukungan dari partai, terutama Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, pasangan itu juga didukung oleh Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah Papua. Masuk dalam asosiasi adalah Kabupaten Tolikara, Puncak, Puncak Jaya, Yahukimo, dan Mamberamo Tengah. Jumlah pemilih di wilayah ini besar.

”Tradisi ikat lidi memberikan dukungan signifikan pada pasangan ini,” kata Marinus. Pada sebuah kampanye, tim pemenangan pasangan ini menegaskan siap mengikat 900.000 suara pemilih di wilayah pegunungan. Angka itu setara sepertiga total pemilih di Papua. Namun, bukan berarti kemenangan telah dipastikan untuk Lukas-Klemen.

Pasangan Habel-Yop, ujar Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua Thaha Al Hamid, berpeluang menang pula. Yop yang berasal dari Wamena berpotensi meraih suara pemilih di pegunungan.

Selain itu, Habel populer di Papua. Sebagai mantan Bupati Jayapura, ia dikenal dengan penguatan pendidikan lewat program pengiriman siswa belajar ke luar negeri. Misinya untuk mengembangkan pertanian dan perkebunan dinilai mengena. Pemilih non-Papua, kata Thaha, akan memberikan suaranya untuk pasangan ini.

Di Kota Jayapura, dengan pemilih mencapai lebih dari 240.000 orang, Habel-Yop diperkirakan meraup banyak suara. Jumlah itu akan meningkat dengan dukungan suara pemilih wilayah pesisir, seperti Kabupaten Jayapura, Sarmi, Keerom, Biak, dan Yapen. Thaha menduga, sikap akomodatif pasangan itu terhadap lahirnya Asosiasi Bupati wilayah Teluk Cenderawasih dan Tanah Tabi jadi sumber dukungan tak terduga.

Pasangan Kambu-Blasius bisa menjadi kuda hitam dalam pilkada. Selama masa kampanye, pasangan ini mendapat respons positif di Mimika, Nabire, dan Merauke. Keberhasilan mereka merangkul tokoh adat dan tetua setempat positif untuk mendulang suara. Namun, di wilayah pesisir, mereka harus bersaing dengan pasangan Habel-Yop.

Bukan politisi

Namun, Marinus dan Thaha menegaskan, persoalan di Papua lebih dari sekadar siapa yang akan terpilih. Ada tumpukan soal, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga politik. Selain itu, berakhirnya otonomi khusus pada 10 tahun mendatang menuntut adanya kepemimpinan yang mampu membuat Papua mandiri.

Papua, tutur Marinus, membutuhkan pengembangan yang lebih utuh dibandingkan hanya bagi-bagi uang Respek. Ia pun pesimistis dengan pembangunan di Papua pasca-pilkada.

Marinus menilai, Papua memerlukan figur negarawan, bukan politisi, untuk kemajuannya. Figur itu pula yang dipercaya dunia internasional, yang turut membangun Papua. Karena itu, ia khawatir…. [Kompas.com]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *