Dalam sebuah forum diskusi yang dihadiri sebagian besar mahasiswa dan guru bertema radikalisme, seorang mahasiswa mengungkapkan fakta bahwa di kalangan akademisi banyak terdapat paham-paham radikal yang menyebabkan kalangan tersebut sulit diajak kompromi atau menerima pendapat pihak lain karena kuatnya doktrin yang telah mereka terima. Lalu sang mahasiswa melanjutkan dengan pertanyaan tentang bagaimana cara menghindari paham-paham radikal yang saat ini telah merajalela.
Gambaran di atas menunjukkan betapa sekarang ini banyak orang begitu galau dengan semakin maraknya paham-paham radikal yang telah menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, sehingga dirasa perlu adanya edukasi, penelitian, atau diskusi-diskusi mengenai paham-paham radikal sebagaimana saat ini semakin gencar dilakukan baik oleh pemerintah, ulama, atau kelompok masyarakat yang peduli akan bahayanya paham tersebut.
Pertanyaan besarnya adalah, apakah benar radikalisme berbahaya, atau ini sekedar propaganda, stigmatisasi dan atau sejenisnya yang digembar gemborkan untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu terutama kelompok agama yang kerap diberi stempel ‘Garis Keras”, padahal di masa penjajahan Belanda, kata ‘radikal’ bermakna positif bagi pejuang kemerdekaan RI.
Bahkan, tahun 1918, di Indonesia terbentuk apa yang disebut sebagai “Radicale Concentratie”, yang terdiri atas Budi Utomo dan Sarekat Islam. Tujuannya untuk membentuk parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat. Oleh karenanyasebelum men-cap seseorang atau sebuah kelompok berpaham radikal, perlu kiranya memahami makna radikalisme itu sendiri dan adakah kaitannya dengan agama terutama Islam.
Beberapa ahli mengungkapkan bahwa radikalisme adalah paham di mana praktek pemenuhan prinsipnya dilakukan secara radikal yaitu secara menyeluruh sampai keakar-akarnya. Dalam konteks ini radikalisme dapat pula disimpulkan sebagai sebuah pemahaman menyeluruh sampai ke pada hal yang mendasar atau dengan istilah lain “radix” berarti berakar. Dengan demikian menurut pandangan ini, alih-alih menjadi individu atau kelompok yang sinkretis, oportunis dan abangan maka akan lebih baik menjadi radikal yaitu tegas, keras dan tanpa kompromi.
Namun demikian, sebagian ahli lain juga berpendapat bahwa radikalisme merupakan cara pandang kolot atau ketinggalan zaman dan hanya memiliki kecenderungan kepada satu pemikiran saja. Di sinilah tampaknya makna radikalisme yang menyebabkan penganutnya sulit menerima pendapat orang lain, tertutup, menolak diskusi, merasa diri paling benar, dan pada akhirnya menganggap salah orang lain di luar kelompoknya, dan untuk beberapa “kelompok garis keras” mereka bahkan berani mengkafirkan siapapun yang tidak sepaham dengannya.
Radikalisme dalam agama