OPINI : Menangkal Radikalisme

Karen Amstrong dalam bukunya “The Battle of God” pernah menyebutkan bahwa gerakan fundamentalisme yang berwujud pada paham radikalismememiliki hubungan yang erat dengansekularitas dan modernitas. Munculnya gerakan radikalisme merupakan reaksi dari sekularitas dan modernitas tidak hanya pada Islam namun pada agama-agama lain termasuk Kristen.

Dalam Islam sendiri telah lama dunia mengenal gerakan pemurnian Islam oleh kelompok-kelompok yang menyebut dirinya sebagai “mujadid” atau pembaharu yang merasa bahwa umat Islam telah menyimpang dari ajaran aslinya. Untuk itu harus dikembalikan ke akarnya yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam konteks ini maka bermunculanlah paham-paham berbasis ideologi keislaman yang kemudian memunculkan pula ide-ide pembentukan Negara Islam atau Negara berlandaskan syariat Islam. Di Indonesia sendiri, sejarah mencatat bagaimana gigihnya perjuangan Natsir untuk mendirikan Negara berlandaskan syariat Islam yang akhirnya kandas terkalahkan oleh gagasan Pancasilanya Soekarno yang didukung oleh para pemimpin ormas Islam besar kala itu. Untuk sebagian kalangan yang tak puas, peristiwa bersejarah ini dianggap sebagai penghianatan para founding fathers terhadap ide Negara Islam.

Adakah romantisme akan abad keemasan dan kejayaan Islam melatarbelakangi ide-ide pembentukan Negara Islam yang sampai saat ini masih diusung oleh beberapa kelompok, ataukah faktor kekuasaan, ideologi atau ekonomi yang malah menjadi dasar keinginan pembentukan Negara Islam tersebut.

Sebut saja fenomenaISIS yang saat ini terjadi, siapapun dia dan apapun agamanya akan sepakat bahwa apa yang dilakukan ISIS untuk menegakkan Negara Islam dengan cara mengkafirkan dan membunuh adalah tindakan keji tak bermoral, dan hanya membawa-bawa Islam sebagai dalih kehausan akan kekuasaan, ideologi sesat, serta ketamakan akan harta semata. Karena pola dakwah hingga berperang yang ditunjukkan kelompok radikal sesat ini sangatlah berbeda dari apa yang diajarkan Islam dan dicontohkan oleh nabi mulia Muhammad SAW.

Namun demikian apa yang dilakukan ISIS saat ini tidak dapat pula dijadikan justifikasi bagi sebagian kelompok yang ingin menjadikan syariat berdiri tegak di bumi Indonesia. Tapi yang jelas pola-pola dakwah dengan membawa kekerasan, permisif, dan represif tidak akan mampu menyentuh hati umat, meskipun yang disuarakan adalah suatu kebenaran. Pola dakwah demikian sejatinya menunjukkan ketidakcerdasan pendakwahnya dalam memahami agama serta psikologi umat sebagai penerima dakwah.

Belajar dari sejarah penyebaran Islam di Indonesia, mungkin setiap da’i/dai’ah atau kelompok-kelompok Islam lain perlu mencontoh kecerdasan para wali songo dalam menyebarkan nilai-nilai Islam dengan penuh hikmah, rahmat, dan suri tauladan. Menyentuh hati dengan hati, menyebarkan keindahan Islam melalui seni, tak mudah menyalahkan apalagi mengkafirkan karena yakin bahwa keimanan seseorang bersifat fluktuatif.

Setiap zaman mungkin memiliki pola dakwah yang berbeda, namun yang pasti tuntunan akan hal tersebut telah jelas tersurat dalam al-Qur’an yang menyebut Islam sebagai agama pembawa rahmat dan kedamaian. Menyampaikan ajarannya dengan penuh hikmah dan suri tauladan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *