Terorisme masih menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Tidak saja mengancam keselamatan warga, terorisme yang berakar dari ideology radikalisme, bahkan bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab, selain menebar teror, mereka juga memiliki agenda politik untuk mengganti dasar negara dan sistem pemerintahan.
Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan satu dari 15 daerah di Indonesia yang disinyalir rawan terhadap tindakan terorisme. Adapun daerah lain yakni Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Sulawesi Tengah, dan Maluku.
Data yang dilansir Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri, pada 2012 lalu, menunjukkan ada peningkatan kasus terorisme yang ditangani di seluruh wilayah Indonesia, dari 10 kasus di tahun 2011 menjadi 14 kasus di tahun 2012. Tahun ini, ancaman terorisme juga masih membayangi. Di samping masih ada sejumlah buron kasus teror yang belum tertangkap, panasnya suhu politik menjelang 2014 juga berpotensi ditunggangi kelompok teroris.
Peran Pemerintah
Sebagaimana diketahui, terorisme bukanlah kejahatan biasa. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang bersifat lintas negara, terorganisasi dan mempunyai jaringan luas, sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Oleh karena itu, upaya pencegahan terorisme memerlukan penanganan secara terpusat, terpadu, dan terkoordinasi dengan melibatkan seluruh elemen bangsa.
Sejak kasus terorisme merebak di tanah air, khususnya setelah terjadinya Bom Bali I (2002), yang menewaskan 202 jiwa, pemerintah mengambil langkah serius untuk menanggulangi tindakan terorisme. Hal itu diwujudkan dengan membentuk Desk Koodinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) di bawah Kemenko Polkam. Lembaga ini bertugas membantu Menko Polkam merumuskan kebijakan pemberantasan terorisme.
Mengingat pentingnya penanggulangan terorisme, pada 16 Juli 2010, atas rekomendasi Komisi I DPR, pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 tahun 2010, yang kemudian diubah melalui PeraturanPresiden Nomor 12 tahun 2012.
BNPT mengemban tiga tugas utama yakni (1) menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; (2) mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme; (3) membentuk Satuan Tugas-Satuan Tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
Tanggung Jawab Semua Elemen
Dengan dibentuknya BNPT, upaya pemberantasan terorisme menjadi agenda yang sangat penting bagi pemerintah. Selain mensinergikan seluruh kementerian, lembaga negara, penegak hukum, dan pemerintah daerah, BNPT juga melibatkan peran serta masyarakat baik tokoh agama, tokoh ormas, akademisi, maupun lembaga swadaya masyarakat.
Peran serta masyarakat sangat penting, terlebih kini ancaman terorisme terus meningkat (elevasi) seiring dengan pergeseran sasaran aksi terorisme, dari kepentingan atau warga negara asing *(far enemy)*, menjadi kepentingan nasional terutama menyasar para aparat penegak hukum dan pemerintah *(near enemy), *baik* *dengan motif politik maupun balas dendam.
Selain itu, mereka juga mempersiapkan aksinya secara clandestine berbaur di tengah masyarakat. Hal itu tampak dari serangkaian aksi di Beji, Depok, dan Tambora, Jakarta Barat, dimana pelaku memanfaatkan pemukiman padat penduduk di perkotaan sebagai tempat perakitan bom. Dalam situasi semacam ini, sekali lagi, keterlibatan setiap elemen dalam masyarakat bersama pemerintah akan sangat menentukan keberhasilan penanggulangan terorisme.
Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan terorisme, sejak sejak tahun 2012 lalu, BNPT membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di tingkat provinsi. Hingga kini sedikitnya 17 FKPT telah berhasil dibentuk. Melalui FKPT, pemerintah mengintensifkan penanggulangan terorisme dengan mengedepankan pendekatan budaya atau kearifan lokal.
Mengingat bahaya terorisme, semua warga negara hendaknya terlibat secara aktif untuk mencegahnya. Hal ini bisa dilakukan dari keluarga masing-masing dengan membimbing anak-anak agar menghindari tindakan kekerasan atas nama apapun. Para pengurus RT/RW juga dapat mengefektifkan kembali budaya wajib lapor 1×24 bagi tamu di lingkungannya. Dengan begitu ke depan aksi-aksi terorisme dapat dicegah dan tidak akan terjadi lagi di tanah air tercinta.
Penulis adalah Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorime (BNPT)